Universitas Diponegoro mengukuhkan tiga guru besar dari Fakultas Ilmu Budaya, Kamis (14/12) di Gedung Prof. Soedarto, S.H., kampus UNDIP, Tembalang. Pada sesi  pagi tersebut, ketiga guru besar yang dikukuhkan adalah Prof. Dr. Alamsyah, S.S., M.Hum., Prof. Dr. Drs. Dhanang Respati Puguh, M.Hum., dan  Prof. Dr. Drs. Endah Sri Hartatik, M.Hum.

Dalam materi ilmiahnya yang berjudul  Tantangan dan Respons: Pasang Surut Industri Kreatif Kerajinan Ukir Jepara 1980-2022, Prof Alamsyah menyampaikan  kerajinan ukir Jepara merupakan bagian dari industri kreatif yang eksistensinya mempunyai akar sejarah panjang sejak abad ke-16. Kerajinan ukir ini mencapai puncak ke jayaan pada tahun 1997 hingga tahun 2000. Booming terjadi karena adanya fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap USD yang ditandai tingginya total nilai ekspor, jumlah unit usaha, jumlah eksportir, dan jumlah pekerja. Keuntungan para pengepul, pengusaha kecil, dan pengusaha besar naik pesat, sedangkan para pengukir tidak banyak mendapatkan keuntungan.

“Penurunan kerajinan ukir terjadi mulai tahun 2002 hingga 2010 karena berbagai faktor. Diantaranya kondisi ekonomi dunia mulai stabil, menurunnya permintaan pasar internasional, ketersediaan dan kenaikan harga bahan baku, perubahan sistem pembayaran atau down payment, kualitas produk dan kualitas bahan baku kurang baik, rendahnya upah pekerja pengukir, pemasaran, dan ketersediaan tenaga kerja,” katanya.

Sementara pidato ilmiah Prof Dhanang mengenai Pelestarian Seni Pertunjukan Jawa Dalam Konteks Politik Kebudayaan Republik Indonesia membahas mengenai  pengelolaan warisan budaya merupakan salah satu langkah yang perlu dilakukan sebagai sebuah politik kebudayaan. Pelestarian seni pertunjukan Jawa adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari politik kebudayaan Indonesia.

“Pelestarian seni pertunjukan Jawa digunakan untuk membangun kebudayaan nasional, karakter bangsa, serta diplomasi kebudayaan. Pelestarian seni pertunjukan Jawa untuk membangun kebudayaan nasional dilakukan dengan mendirikan pusat-pusat kebudayaan dalam bentuk lembaga pendidikan seni, pusat kesenian, dan taman budaya; memanfaatkan Radio Republik Indonesia dan mendirikan Lokananta; serta menyelenggarakan panggung-panggung pertunjukan. Lembaga-lembaga itu menjadi pilar-pilar penyangga pelestarian seni pertunjukan Jawa melalui kreasi dan inovasi yang dihasilkannya. Pelestarian seni pertunjukan Jawa untuk pembangunan karakter bangsa dilakukan melalui karya-karya gendhing, pergelaran wayang, dan kethoprak. Pelestarian seni pertunjukan Jawa untuk diplomasi kebudayaan terutama dilakukan melalui misi-misi kesenian yang diadakan oleh pemerintahdan swasta,” terang Prof Dhanang.

Adapun Prof Endah mengusung judul penelitian ilmiah “Membaca Masa Lalu dan Membayangkan Masa Depan Transportasi Darat di Indonesia”. Menurutnya jalan raya Daendels telah membuka ruang konektifitas transportasi baru. Jalan Raya ini secara tidak langsung telah melahirkan jalan-jalan kecil yang terhubung dengan pemukiman penduduk dan pusat-pusat perkebunan, terutama perkebunan tebu, teh, dan kopi.

“Jalan raya Daendels juga telah mengintegrasikan angkutan sungai yang sebelumnya menjadi jaringan utama untuk menuju kota-kota pelabuhan. Pelabuhan-pelabuhan yang dilalui jalan raya Daendels menjadi pusat-pusat konektifitas penting dalam angkutan barang atau produksi perkebunan dan penumpang, seperti Cirebon, Tegal, Pekalongan, Semarang, dan Surabaya,” pungkas Prof Endah.(LW-Humas)

Share this :