SEMARANG – Dekan Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) Universitas Diponegoro (UNDIP), Prof Dr Suharnomo SE MSi secara resmi dikukuhkan menjadi guru besar dalam Sidang terbuka Senat Akademik (SA), Selasa (25/5/2021).  Dia menyampaikan pidato ilmiah berjudul “Strategi Pengelolaan Sumber Daya Manusia Unggul Dalam Perspektif Budaya Nasional Indonesia” suatu bidang kajian yang ditekuninya sejak kuliah di jenjang sarjana.

Predikat guru besar yang kini resmi disandang lelaki kelahiran Grobogan 22 Juli 1970 ini dikomentari beberapa rekannya sebagai “Guru Besar Berkuasa Penuh” karena saking banyaknya jabatan yang dipangkunya. Selain sebagai Dekan FEB Undip, pengampu mata kuliah Manajemen Sumber Daya Manusia, Manajemen Strategik, Perilaku Organisasi dan Metode Penelitian ini juga menjadi Ketua DPN AFEBI (Dewan Pengurus Nasional Asosiasi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Indonesia); Dewan Kehormatan Lembaga Akreditasi Mandiri untuk Manajemen Ekonomi Bisnis dan Akuntansi LAMEMBA  AFEBI; Ketua ISEI (Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia) Kota Semarang-Koordinator Jawa Tengah; Ketua Free Trade Agreement (FTA) Cabang Semarang Koord Jateng-DIY; Asesor BNSP (Badan Nasional Sertifikasi Profesi) dengan ke-khusus-an Bidang Manajemen Sumber Daya Manusia (Administratif hingga Manajer SDM); Ketua RT di tempat tinggalnya, juga menjadi takmir masjid.

“Saya memang senang berorganisasi. Senang berkegiatan. Sejak SD sampai SMA selalu jadi Ketua Kelas. Saat kuliah juga menjadi Ketua BEM. Bahkan sempat beberapa UKM saya pimpin dalam waktu bersamaan,””ujarnya beragumentasi menjawab candaan sejawatnya yang menyebut sebagai “Guru Besar Berkuasa Penuh”.

Ketika menjalani masa studi sarjana di Undip tahun 1990 – 1996, alumni SMAN 2 Semarang ini memang terlibat dalam berbagai kegiatan dan aksi. Era itu mahasiswa sering terlibat demo, dan Suharnomo pun ikut di dalamnya. Namun tegas dia memilih untuk memperjuangkan hal yang sifatnya nasionalisme, dan menghindarkan diri dari aksi demo yang anarkis.

Yang membedakan dia dengan aktivis lainnya, Harnomo mau dan intens menuliskan apa yang diperjuangkannya, serta mempublikasikan di media massa. Maklumlah, dia memang senang bermedia. Selain menjadi pengisi acara di RRI Semarang, dia juga pernah memimpin majalah mahasiswa FE Undip, Edent (Economic Student) sebagai pemimpin redaksi dan pemimpin umum.

Mengenai gelar guru besar yang diperolehnya, suami dari Dewi Widayani SH SPd ini mengaku sangat bersyukur. “Masya Allah saya jadi profesor. Sangat bersyukur. Karena awalnya saya suka yang praktis, how to manage people. Untuk mencapainya saya harus mengubah kebiasaan menulis ilmiah popular menjadi tulisan akademik. Awalnya tersiksa juga, tapi bersyukur saya bisa melewatinya karena dorongan keluarga dan para sahabat,” kata ayah empat anak ini yang SK professor dalam bidang ilmu manajemen sudah dikantongi sejak 21 April 2020.

Dia menorehkan karya akademik di sedikitnya 32 tulisan terindeks Scopus sebagai first author, beberapa buku dan prosiding. Tentang buku dan tulisan di jurnal ilmiah, baginya bukan hanya kewajiban, tapi juga kepercayaan. “Mahasiswa akan lebih percaya kalau materi kuliah yang kita sampaikan juga didukung referensi karya kita sebagai pelengkap,” ungkap sosok yang menjabat Dekan FEB Undip sejak tahun 2015 ini.

Lahir dari keluarga guru, ayahnya yang aktif di Nahdlatul Ulama (NU) menjadi inspirasi bagi anak-anaknya termasuk Harnomo, menjadi pribadi yang senang bergiat di masyarakat. Karena itulah, sampai sekarang beragam peran dia emban sebagai bentuk nyata tanggung jawabnya sebagai pribadi dalam melaksanakan amanah yang diterimanya.

Dalam pidato ilmiahnya, dia mengingatkan hingga saat ini kondisi SDM (Sumber Daya Manusia)  Indonesia belum dalam posisi kompetitif di tingkat global. Pria yang meraih predikat Guru Besar pada usia 50 tahun mengutip Human Capital Index (HCI) yang dibuat World Bank untuk mengukur kesiapan modal manusia dalam pembangunan. HCI dirancang untuk mengetahui bagaimana kondisi hasil kesehatan dan pendidikan saat ini membentuk produktivitas generasi pekerja berikutnya.

Secara umum Indonesia masih memiliki tantangan yang sangat besar karena skor HCI-nya paling rendah dibandingkan dengan negara lain di ASEAN. Ini utamanya karena skor komponen pembentuk HCI Learning adjusted years of school atau rata-rata lama sekolah dan juga pada komponen Harmonized Test Scores. Urutan terbaik di ASEAN adalah Singapura, Vietnam, Malaysia, Thailand dan terakhir Indonesia.

Akademisi ini sangat paham, seringkali SDM hanya dilihat sebagai faktor produksi di dunia industri, atau hanya menyiapkan buruh-buruh siap kerja sesuai kebutuhan mesin industri. Untuk bisa keluar dari situasi ini, Suharnomo menawarkan konsep membangun SDM berpijak pada karakter bangsa yang tercermin dalam 4 Dimensi Budaya Nasional Bangsa Indonesia yaitu dimensi power distance, collectivism, femininity, dan uncertainty avoidance.

Dimensi Power Distance yaitu menjadi teladan satunya kata dan perbuatan, menjadi contoh paripurna dalam perilaku di keluarga, kantor dan masyarakat; dimensi Collectivism seperti  ikut mendorong pada perilaku kohesif masyarakat  dalam bentuk guyup rukun, sepi ing pamrih rame ing gawe. Adapun dimensi Femininity yang tercermin dalam peradaban nilai, me-nomor-satu-kan quality of life, peduli (caring for other), dan mempertahaankan keseimbangan karir-keluarga, bukan pada pencapaian material; sedangkan dimensi Uncertainty Avoidance  dimaknai sebagai semangat optimis dalam segala situasi dan memupuk keberanian dalam menghadapi tantangan, serta menjauhkan dari sikap-sikap negatif yang merugikan masyarakat.

Era Revolusi Industri 4.0 menuntut kompetensi baru di samping literasi membaca, menulis dan matematika. Dibutuhkan kemampuan literasi membaca data, literasi teknologi (coding, artificial intelligent dan engineering principle), literasi manusia (humanities, komunikasi) serta keseimbangan mental antara teknologi dan kesehatan rohani.

Dengan memadukan 4 Dimensi Budaya Nasional Indonesia dengan tantangan digitalisasi, rumusan SDM Unggul di era revolusi industri adalah menjadikan  insan Indonesia yang memiliki kemampuan dalam literasi membaca data, literasi teknologi, literasi manusia, serta keseimbangan mental antara teknologi dan kesehatan rohani. SDM Unggul ini selain memiliki kemampuan knowledge, skill, and abilities (KSAs) juga harus mempunyai sikap yang berakar pada budaya nasional dan berkarakter Pancasila, yaitu: kokoh dalam keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, tercermin dalam perilaku akhlak yang baik, satunya ilmu-amal, merdeka lahir-batin dan mempunyai selengkap-lengkapnya sifat manusia yang membawa rahmat bagi seluruh alam.

Generasi seperti ini juga yang bisa meng-eksekusi semangat Trisakti yang dilontarkan Bung Karno yaitu: berdaulat di bidang politik, berdikari (berdiri di atas kaki sendiri) di bidang ekonomi, dan berkepribadian di bidang kebudayaan. (tim humas)

 

Share this :