SEMARANG – Guru Besar Teknik Mesin Fakultas Teknik (FT) Universitas Diponegoro (UNDIP), Prof Dr.Ir.Dipl.-Ing. Berkah Fajar Tamtomo Kiono, menyarankan program back to nature dengan memakai refrigeran alami pada alat pendingin seperti air conditioner (AC), lemari es, freezer, dispenser dan pendingin mobil. Salah satu bahan alami yang ada di Indonesia dan ketersediaannya cukup sehingga potensial dikembangkan adalah hidrokarbon propana.

“Sebenarnya, semula refrigerant yang kita pakai adalah bahan alami. Namun karena terjadi beberapa kecelakaan, kemudian dicari bahan pengganti yang lebih aman berupa refrigeran sintetis. Ternyata dalam perkembangannya dipahami penggunaan refrigeran sintetis memberi kontribusi deplesi atau kerusakan ozon sehingga pilihan sekarang adalah kembali ke bahan alami,” kata Berkah Fajar Tamtomo Kiono dalam pidato perdananya sebagai guru besar pada sidang terbuka Senat Akademik Undip, di Gedung Prof Soedarto SH, Tembalang Semarang, Senin (31/5/2021).

Pengajar aktif  di Departemen Teknik Mesin FT Undip yang mengampu beberapa mata kuliah bidang konversi energi antara lain Mekanika Fluida, Termodinamika, Perpindahan Panas, dan Teknik Refrigerasi yang dalam beberapa tahun terakhir intens melakukan riset tentang performa dari sistem pendingin ini mengatakan pada awal mesin pendingin dipakai, yakni lemari es atau orang menyebutnya kulkas, refrigeran yang dipakai adalah gas yang mengandung racun seperti R717- Amoniak, R744- CO2, R610A-Iso-butan, dan R290- Propana.

Ada beberapa kelemahan dari bahan pendingin alami yang waktu itu belum bisa diatasi. Selain mudah terbakar, baunya menyengat, juga beracun. Sehingga sangat berisiko jika terjadi kebocoran. Pada awal penggunaannya pada lemari es di tahun 1920-an, terjadi beberapa kecelakaan terkait pengunaan mesin pendingin.

Karena beberapa kejadian kecelakaan, muncul upaya mencari solusi dengan ditemukannya bahan pendingin sintetis yang secara teknis bisa meminimalisasi terjadinya kebocoran dan kebakaran. Persoalannya, berkembangnya pengetahuan tentang ancaman pemanasan global menyadarkan bahwa bahan pendingin sintetis memberi kontribusi teradap penipisan ozon, yang pada ujungnya mempercepat terjadinya pemanasan global. Memang, bahan pendingin sintetis bukan satu-satunya faktor, karena ada faktor lain seperti penggundulan hutan, asap pabrik, serta besarnya populasi kendaraan bermotor. Namun pengurangan kontribusi terhadap perusakan ozon dari bahan pendingin penting dilakukan.

Mengenai hidrokarbon propana yang disarankan Berkah Fajar sebagai bahan pendingin alami, adalah gas alam yang salah satunya ditemukan Pertamina di sumur dekat Sungai Musi Provinsi Sumatera Selatan. Propana juga bisa diperoleh dari gas alam atau elpiji (liquid petroleum gas) yang sumbernya tersedia cukup di Indonesia. Dalam konteks ini, pengembangan mesin pendingin yang aman dan cocok dengan penggunaan bahan pendingin alami penting terus dikembangkan.

“Dalam riset ini kami bekerja sama dengan Kementerian Lingkungan Hidup. Juga dengan PT Pertamina Persero. Fokus kita sekarang adalah menghasilkan mesin pendingin yang memakai bahan pendingin alami hidrokarbon propana yang aman, mudah pemakaiannya, serta murah. Riset kami menunjukkan yang banyak sukses adalah mesin-mesin yang tidak terlalu besar ukurannya seperti AC split dan lemari es. Kami akan prioritas ke mesin ukuran kecil terlebih dahulu karena kebutuhannya juga tinggi, kalau kita bisa perbaiki yang kebutuhannya tinggi maka jumlah totalnya akan besar dan kontribusi ke perbaikan kondisi ozon juga signifikan,” ujar Berkah Fajar yang menyelesaikan S3-nya di program doktor Departemen Teknik Mesin ITB-University of Valenciennes (Perancis) pada tahun 2002.

Menyadari bahwa populasi mesin pendingin existing sudah sangat banyak, Fajar yang lulus program sarjana teknik mesin ITB (Institut Teknologi Bandung) tahun 1985 dan melanjutkan program pascasarjana dengan memperoleh gelar Diplom-Ingenieur (Dipl.-Ing) dari Technische Universität Braunschweig, Jerman pada Tahun 1994 ini, mengaku perlu ada proses konversi. Perlu dicari solusi memakai mesin pendingin existing agar bisa menggunakan bahan pendingin alami, namun tetap mengedepankan aspek keselamatan, kesehatan, serta mudah diaplikasikan dan murah. Prinsip ini harus dikedepankan, supaya masyarakat tidak dirugikan.

Beberapa uji teknis sudah dilakukan, di antaranya dengan mengganti sil (seal) yang memakai bahan karet alami, memakai kondensor yang lebih aman seperti kondensor, serta menata jarak antara peralatan untuk memperkecil risiko yang mungkin terjadi. Pola ini tidak menuntut penggantian mesin pendingin secara total, namun penyesuaian beberapa komponennya saja. Konteks ini untuk mesin pendingin di rumah-rumah, dan secara teknis masih perlu dikaji lebih dalam.

Sementara untuk penggunaan mesin pendingin berskala besar seperti cold storage atau mesin pendingin di hypermarket yang membutuhkan ruang besar; pemanfaatan mesin minimal harus dilakukan dengan mendesain ulang tata letaknya. Hal ini perlu dilakukan karena pemakaian bahan pendingin alami hidrokarbon propana memang mudah terbakar, sehingga perlu dilakukan penataan teknis dalam pengamanannya.

Untuk pemakaian skala besar, termasuk cold storage, Fajar menyarankan penerapan secondary  refrigerant  (refrigeran sekunder), yakni penggunaan cairan untuk mentransfer panas dari zat yang didinginkan ke penukar panas di mana panas diserap oleh refrigeran primer. Cairan yang didinginkan refrigeran primer kemudian diekspos ke sumbernya, dipanaskan dengan bijak oleh sumber tersebut, sehingga menyerap energinya. Pendingin skala besar cocok digunkanan di pabrik besar untuk mengangkut kapasitas pendinginan dari ruang pabrik ke titik penggunaan.

Upaya mempromosikan refrigeran alami, kata Fajar, tak bisa ditawar-tawar lagi. Beberapa negara sudah dengan tegas melarang penggunaan bahan pendingin sintetis untuk lemari es dan dispenser. Dia meyakini ke depannya hal itu akan diterapkan juga pada semua mesin pendingin yang ada karena deplasi ozon adalah tanggung jawab semua orang tanpa kecuali. Bahan-bahan kimia industri, terutama zat pendingin, pelarut, propelan, dan agen peniup-busa halokarbon (klorofluorokarbon), banyak disebut-sebu sebagai zat penipis ozon (ozone-depleting substances/ODS) sehingga harus dihindari penggunaannya.

Terkait gelar professor yang diraihnya, Berkah Fajar Tamtomo yang menempuh pendikan menengahnya di Kota Semarang di SMP Domenico Savio dan SMA Loyola ini bersyukur. Dia menyebut gelar tersebut sebagai penghargaan negara melalui Universitas Diponegoro untuk dedikasinya di dunia akademik. “Yang pasti saya bersyukur, apa yang saya kerjakan selama ini dihargai,”ungkapnya.

Dia menyebut program OPOC (One Professor One Candidate) yang dicanangkan Kampus Diponegoro di bawah kepemimpinan Prof Dr Yos Johan Utama SH MHum sangat membantu. Fajar meyakini dosen yang sudah menyelesaikan pendidikan S3 banyak yang memenuhi syarat untuk dipromosikan menjadi guru besar. “Persoalannya kita sering lemah di masalah administrasi dan dokumentasi. Dengan Program OPOC, kehadiran mentor menjadi mempermudah, setidaknya menguatkan semangat para yunior untuk meraih gelar akademik tertinggi,”pungkasnya. (tim humas)

Share this :