SEMARANG – Guru Besar Teknik Arsitektur Fakultas Teknik (FT) Universitas Diponegoro (UNDIP), Prof. Dr. Ir. Atik Suprapti, MTA; menawarkan paduan pendekatan digital dan warisan hidup (living heritage) untuk menjaga keberlanjutan arsitektur dan kota Islam di pesisir utara Jawa. Hal itu disampaikannya pada Sidang Terbuka Senat Akademik Undip yang digelar secara luring dan daring dari Gedung Prof Soedarto SH Tembalang, Jumat (4/6/2021).

Perjalanannya selama 20 tahun meneliti arsitektur dan kota Islam di Kawasan Pantura (Pantai Utara) Jawa mencatat fenomena semakin tergerus perubahan yang terjadi disebabkan oleh urbanisasi, dan pergeseran peta politik dan ekonomi menjadi ancaman bagi keberlanjutannya. Karena itu, Atik yang menyelesaikan Studi S2 dan S3 Arsitektur Perkotaan di Undip tahun 1997 dan tahun 2012 ini, menawarkan paduan pendekatan digital dan warisan hidup sebagai jembatan antar waktu, masa lalu masa kini serta masa yang akan datang.

“Konsep internet of things atau IoT penting dilakukan untuk mendukung pelestarian nilai-nilai lokal. Riset mengenai WebGIS (Web Geographic Information System-red) memang sudah banyak dilakukan, namun, pemanfaatan WebGIS dalam upaya melindungi aset dan budaya belum banyak dimanfaatkan,” ujarnya pada orasi perdana sebagai profesor yang diberi judul “Pendekatan Digital – Warisan Hidup (Living Heritage) Menuju Keberlanjutan Arsitektur & Kota Islam di Pesisir Utara Jawa”.

Menurut Atik yang menyelesaikan S2 dan S3 Arsitektur Perkotaan di Undip tahun 1997 dan tahun 2012 ini, PBB telah memberikan penghargaan Indonesia sebagai salah satu negara “super power” dengan sedikitnya 300 etnis keragaman kebudayaannya (cultural diversity) yang dimiliki. Salah satunya adalah arsitektur dan kota Islam yang menyebar di wilayah Pesisir Utara Jawa.

Dalam rentang selama 6 abad hingga pada saat ini, eksistensi karya sebagai warisan hidup berupa budaya tangible dan intangible yang ada di beberapa kota Islam seperti Ampel, Gresik, Rembang, Lasem, Demak, Cirebon, Kudus dan Semarang, serta kota lain yang aktif dan berkembang menjadi kota religi. Artefak yang tumbuh, dirawat oleh komunitas, ke depan direncanakan dan dikembangkan untuk generasi penerus komunitas. Namun urbanisasi, pergeseran peta politik dan ekonomi menjadi ancaman bagi keberlanjutannya.

Kota di wilayah pesisir utara Jawa umumnya memiliki peninggalan budaya agama Islam seperti pola “Catur Sagatra” yang meliputi keraton, alun-alun, masjid, pasar, serta pemukiman di sekitarnya. Pada tata ruang kota Islam Jawa, peran dominan “pesantren-kyai-masjid”, serta aktivitas ekonomi rakyat di dekat pasar dan alun-alun merupakan efek dari living heritage.

Dalam perkembangannya, kota-kota dengan sejarah peninggalan Islam selain sebagai pemukiman juga berfungsi sebagai obyek wisata rohani. Karena itu, Atik Suprapti yang mengampu matakuliah metodologi riset dan perancangan kota ini berharap artefak dan arsitektur peninggalan sejarah tersebut bisa dilestarikan memakai teknologi informasi untuk keberlanjutan living heritage.

Untuk melakukan konservasi tersebut pemerintah harus bekerjasama dengan dengan para pemilik bangunan, akademisi, sektor swasta, pengrajin kayu, serta lembaga non-pemerintah seperti Yayasan Masjid, Menara, dan Makam Sunan Kudus (YM3SK). “Warisan budaya kita belum terkelola dengan baik,”kata akademisi yang lahir di Kota Kretek Kudus tahun 1965.

Perempuan yang memperoleh gelar insinyur dari FT Undip pada 8 Juli 1991 ini mengungkapkan kota-kota Islam di Pesisir Utara Jawa yang merupakan warisan Walisongo telah berkembang bersama dengan kota-kota di sekitarnya. Adapun salah satu ciri arsitektur dan tata kotanya merupakan refleksi hubungan manusia dan Allah, hubungan antara sesama manusia, serta  hubungan antara manusia dengan lingkungan sekitarnya.

Kota-kota tersebut masih tetap eksis, berkesinambungan dengan fungsinya, dan tumbuh sebagai tujuan wisata religi. Konfigurasi Kota Islam Pesisir bisa dilihat dari rekosntruksi kota Demak pada abad ke 15 yang terstruktur oleh elemen-elemen alun-alun, keraton, masjid, permukiman, dan pasar. Sementara kota Islam pedalaman Jawa periode abad 16-18 M, memiliki elemen struktural meliputi keraton, alun-alun, masjid, dalem pangeranan, magersari dan pasar.

Setelah Demak collapse dan Belanda mulai mengembangkan kota-kota di pedalaman, pola Catur Sagatra tetap digunakan. Ini bisa dilihat pada Kota Pajang, Kotagede, Kartasura dan Surakarta. Pemukiman Muslim di Kampung Kauman, Semarang, juga mereflesikan pada semua komponen kota Islam. Karakter transendental dikontruksikan dari aspek waktu, sosial, aktivitas ekonomi dan ajaran agama yang kuat terlihat jelas hidup dari waktu ke waktu.

Adapun konsep penyimpanan data di era industry 4.0 telah berubah ke digital. Dalam pelestarian arsitektur, penggunaan teknologi digital sering dilakukan yang digabungkan dengan pendokumentasian sebagai kebutuhan dasar. Kini, untuk pemetaan aset budaya berwujud dan tak berwujud yang biasa disebut pemetaan budaya (cultural mapping), juga perlu dilakukan dengan memadukan pola pemetaan digital dengan sistem informasi berbasis WebGIS termasuk untuk pelestarian benda cagar budaya bagi kepentingan preservasi, maupun promosi.

Saat ditanya bagaimana perasaannya mendapatkan gelar profesor, Atik Suprapti menganggapnya bukan capaian pribadi dan capaian fisik semata. Effort manusia tidak seberapa. Ada ridho Illahi, campur tangan Yang Di Atas. Tanpa itu, tidak akan terjadi,” ungkapnya.

Atik juga mengakui bahwa lingkungan kampus dan kebijakan pimpinan menjadi faktor penting. Pada proses meraih gelar akademik tertinggi, para dosen di Undip dibantu mulai dari hulu sampai hilir. Dia juga berterima kasih kepada Prof Putu yang menjadi mentor dalam Program OPOC (One Professor One Candidate) sehingga surat keputusan sebagai guru besar bisa sampai di tangannya sekarang ini. (tim humas)

Share this :