SEMARANG – Ultrafiltrasi membran surfaktan efektif mengolah limbah cair pada produksi batik yang kebanyakan memakai zat warna reaktif seperti remazol, indigosol, naftol dan rapid dalam proses pewarnaannya. “Air limbah zat warna yang tidak diolah tentunya menyebabkan dampak negatif pada lingkungan. Salah satu dampak negatif yang muncul diantaranya adalah adanya air banjir yang berwarna merah, air banjir yang berwarna hijau karena pesatnya pertumbuhan tanaman mata lele, maupun saluran pembuangan air yang berbau tidak sedap,” demikian disampaikan Prof. Nita Aryanti, S.T., M.T., Ph.D pada pidato pengukuhan sebagai Guru Besar Teknik Kimia di Fakultas Teknik (FT) Universitas Diponegoro (UNDIP), Selasa (8/5/2021).

Menurut perempuan kelahiran Semarang 17 Januari 1972, yang membawakan orasi ilmiah dengan judul “Teknologi Membran_Surfaktan Terintegrasi untuk Penyisihan Zat Warna Pada Pengolahan Air Limbah” penelitian tersebut sudah menggunakan materi yang diambil langsung dari lapangan. “Limbah batik kami ambil dari industri yang ada di Pekalongan, Solo dan Semarang untuk kami proses di laboratorium,”kata peraih gelar doctor of philosophy (PhD) dari University of Leeds Inggris.

Dosen yang menjalani masa pendidikan dasar dan menengahnya di Kota Semarang ini mengungkapkan limbah produksi batik, khususnya yang berupa limbah cair, saat ini menjadi problem tersendiri. Masing-masing unit usaha produksi batik rata-rata menghasilkan limbah cair sebanyak 10 m3 per/hari, sehingga alumni SMAN 3 Semarang ini terdorong mencari solusi untuk mengatasinya. Apalagi melihat banyaknya orang yang menggantungkan hidup dari industri batik di Indonesia, sehingga pilihannya adalah melestarikan usaha batik sekaligus melestarikan lingkungan.

Besarnya populasi industri batik di Indonesia yang mencapai 700 ribu unit usaha (Data BPS tahun 2019), serta adanya pengakuan dari UNESCO bahwa batik merupakan warisan dunia, menjadi pendorong Nita untuk mengembangkan cara pengolahan limbah cair batik yang bahannya ramah lingkungan, teknologinya bisa dijangkau pelaku industri batik yang sebagai besar masuk kategori usaha mikro, serta mudah dalam pengoperasiannya. Teknologi ultrafiltrasi dinilai lebih cocok dibanding teknologi nannofiltrasi agar lebih terjangkau bagi usaha batik yang sebagian besar Usaha Kecil Menengah (UKM).

Limbah cair yang mencapai 10 m3 per/hari/usaha batik tersebut biasanya mengandung kadar Chemical Oxygen Demand (COD) berkisar 937 mg/l dan zat warna sebesar 185 CU. Nilai tersebut jauh melebihi kadar maksimum yang diijinkan sesuai dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. P.16/MENLHK/SETJEN/KUM.1/4/2019 tentang Baku Mutu Air Limbah Bagi Usaha dan/atau Kegiatan Industri Tekstil.

Hasil penelitian dan pengamatan yang dilakukannya bersama tim sejak tahun 2015, ada dua poin penting dalam kegiatan produksi batik yang berkait dengan lingkungan. Yakni produksi limbah cair dan penggunaan zat pewarna reaktif. Menurut dia, dari semua air yang digunakan dalam proses produksi  70% di antaranya akan keluar sebagai air limbah. Apabila tidak diolah dengan baik maka dampaknya kontinyu di alam dan berbahaya bagi kesehatan dan lingkungan.

Adapun zat warna reaktif yang banyak digunakan dalam industri batik di antaranya remazol, indigosol, naftol dan rapid, merupakan polutan yang berbahaya bagi kesehatan dan lingkungan jika tidak diolah dengan baik. Limbah zat warna reaktif yang umumnya berukuran lebih kecil ukuran pori membran merupakan senyawa kompleks yang sulit didegradasi secara alami, ukuran partikel kecil dan dapat larut dalam air. Karena itu, sistem pengolahan limbah cair pada batik menjadi penting untuk diimplementasikan.

Mengenai pilihan metode MEUF, Nita yang menyelesaikan S1 di Teknik Kimia Undip dan S2 di Institut Teknologi Bandung, pertimbangannya karena membran ultrafiltrasi memiliki ukuran pori lebih kecil dan membutuhkan tekanan dan energi yang lebih rendah serta lebih feasible untuk diterapkan pada industri tekstil, khususnya batik. Membran adalah teknik pemisahan dua fase zat atau lebih dengan bantuan membrane semipermeable, yakni suatu jenis membran polimerik yang memungkinkan molekul atau ion tertentu untuk melewatinya dengan difusi—atau terkadang melalui proses khusus seperti difusi terfasilitasi, transpor pasif atau transpor aktif.

Teknologi membran khususnya ultrafiltrasi, saat ini telah banyak digunakan dalam pengolahan air limbah. Persoalannya, untuk polutan air limbah zat warna reaktif yang umumnya berukuran lebih kecil dibandingkan dengan ukuran pori membran tidak dapat dipisahkan dengan ultrafiltrasi. Maka dilakukanlah pengembangan metode ultrafiltrasi melalui integrasi teknologi membran-surfaktan dengan penambahan surfaktan.

Surfaktan merupakan suatu senyawa yang mempunyai dua gugus yang masing-masing dapat berikatan dengan air dan minyak atau lemak serta mempunyai kemampuan membentuk busa. Sistem ini memungkinkan polutan bermolekul kecil dapat tertahan oleh membran ultrafiltrasi. Jenis surfaktan yang digunakan dapat berupa surfaktan anionik, nonionik maupun kationik.

Integrasi membran ultrafiltrasi-surfaktan saat ini telah digunakan untuk memisahkan zat warna Remazol (dengan surfaktan Cetylpyridinium Chloride) dan zat warna Indigosol (dengan surfaktan Sodium Dodecyl Sulphate) dengan efisiensi penyisihan zat warna mencapai 98,50% untuk Remazol dan 99,0 % untuk Indigosol.  Sedangkan pengolahan air limbah batik dengan sistem yang sama namun dengan surfaktan Sodium Dodecyl  Sulphate mampu menghasilkan efisiensi penyisihan sebesar 85% TSS (Total Suspended Solid) dan COD.

Pada penelitian periode 2021-2022, akademisi yang antara lain mengampu mata kuliah Teknologi Emulsi dan Surfaktan, Kimia Organik, serta Komputasi Proses ini intens melakukan eksplorasi dan karakterisasi surfaktan berbasis tanaman di Indonesia –dalam hal ini lerak dan daun jarak; dan mengimplementasikannya sebagai surfaktan pada integrasi ultrafikasi membran-surfaktan. Ultrafiltrasi integrasi teknologi membrane-misel surfaktan (MEUF) sendiri adalah konsep memisahkan partikel yang berukuran lebih kecil dibandingkan ukuran pori membran ultrafiltrasi dengan cara menaikkan ukuran partikel melalui bantuan surfaktan yang ditambahkan dengan konsentrasi spesifik agar membentuk misel (kumpulan surfaktan dengan ukuran yang besar). Dia berharap apa yang dilakukannya bersama tim bisa tuntas pada tahun 2030 dengan hasil berupa unit pengolahan limbah tekstil (dimana batik masuk di dalamnya) berbasis integrasi membran.

Pengembangan sistem integrasi membran-surfaktan bahan alami yang dilakukan Ketua Program Studi S1 Teknik Kimia ini memilih surfaktan non-sintesis saponin. Bahan alami yang efektif mengandung saponim adalah lerak; sementara bahan alami lain yang terus didalami efektivitasnya sebagai surfaktan adalah daun jarak yang kandungan saponimnya cukup memadai. Ekstrak lerak sebagai surfaktan mampu untuk menurunkan konsentrasi zat warna Remazol dan menurunkan kadar Kromium pada air limbah batik. Sudah banyak hasil-hasil penelitian tersebut yang telah dipublikasikan dalam artikel ilmiah pada berbagai Jurnal Internasional bereputasi. Buah lerak yang biasa disebut soapberries atau soapnuts banyak tumbuh di tanah Indonesia, sudah dikenal sebagai bahan alami yang digunakan sebagai sabun tradisional dengan memanfaatkan bijinya. Penggunaan saponin sebagai surfaktan dalam sistem integrasi membran-surfaktan mampu menyisihkan zat warna Remazol, Naftol dan Indigosol dengan efisiensi penyisihan zat warna pada rentang 82,25% – 99%.

Meskipun integrasi membran-surfaktan telah terbukti mampu menurunkan zat warna dan dapat diimplementasikan dalam pengolahan limbah, metode ini perlu dikembangkan lebih lanjut untuk mengatasi keterbatasan dalam sistem ini. Untuk itu telah dirancang desain unit ultrafiltrasi-surfaktan untuk pengolahan air limbah tekstil yang komprehensif kerjasama antara Departemen Teknik Kimia dengan UKM Batik. Desain ini dilengkapi dengan sistem untuk pengambilan kembali surfaktan sehingga dapat meminimalisasi biaya operasional.

Ditanya perasaannya mencapai jenjang akademik tertinggi, ibu empat anak yang semuanya lelaki itu mengaku bersyukur. Pencapaian tersebut diakuinya karena dukungan banyak pihak, mulai dari keluarga, lingkungan kampus dan pimpinan universitas. “Dengan amanah sebagai guru besar, mohon doanya roadmap penelitian untuk menemukan metode pengolah limbah batik yang kami lakukan bisa selesai lebih cepat dari yang dijadwalkan,” tukasnya.  (tim humas)

Share this :