Site icon Universitas Diponegoro

Pengering Surya Hybrid Layak Teknis Ekonomis Optimalkan Kualitas dan Kuantitas Pangan: Guru Besar FT UNDIP Suherman

SEMARANG – Guru besar Departemen Teknik Kimia Fakultas Teknik Unversitas Diponegoro (UNDIP),  Prof. Dr.-Ing. Suherman, ST, MT, mengembangkan pengering untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas produk pertanian dengan alat yang disebut “Pengering Surya Hibrid”. Teknologi pengeringan metode tertutup ini selain mengoptimalkan kualitas dan kuantitas produk pangan, juga mampu mengeringkan lebih cepat, lebih higienis, dan terjangkau biayanya.

Dalam pidato ilmiah perdananya sebagai profesor bidang ilmu teknik kimia yang disampaikan pada Sidang Senat Akademik Undip, Selasa (8/6/2021), Suherman yang meraih gelar S3 dari Universität Magdeburg Jerman ini mengungkapkan pengeringan bahan pangan dapat meningkatkan nilai ekonomi berlipat dari produk aslinya. “Contohnya buah tomat saat panen harganya bisa anjlok hanya Rp 500 per kg, namun setelah dikeringkan naik menjadi Rp 315.000 per kg,”katanya saat menyampaikan orasi yang diberi judul “Pengembangan Pengering Surya Hibrid Untuk Peningkatan Kualitas Dan Kuantitas Produk Pangan Indonesia”.

Menurut Suherman yang kini menjabat sebagai Ketua Departemen Teknik Kimia FT Undip, pengeringan juga merupakan metoda pengawetan bahan pangan yang paling unggul dibandingkan dengan pembekuan dan pengalengan. Teknologi pengeringan juga bisa meningkatkan produk pangan yang tidak sempurna.

Ada dua metoda pengeringan yakni tradisonal dan modern. Usaha Kecil Menengah (UKM) Pangan di Indonesia umumnya menggunakan metoda pengeringan secara tradisional, yakni dijemur langsung secara terbuka di bawah sinar matahari. Metoda pengeringan ini akan menyebabkan kehilangan produk antara 20–50%, laju pengeringan  lambat, kurang higienis dan kurang bersih, membutuhkan cuaca  cerah.

Pengeringan tradisional juga menyebabkan nutrisi banyak hilang, selain itu membutuhkan ruang yang luas. Oleh karena itu, perlu dikembangkan metoda pengering surya tertutup yang akan meningkatkan kualitas dan kuantitas produk pangan Indonesia karena memiliki keunggulan laju pengeringan cepat, higienitas tinggi dan sangat bersih, dalam segala cuaca bisa dilakukan, retensi nutrisi lebih baik, tidak membutuhkan ruang yang besar.

Untuk menghasilkan rancangan alat pengering yang layak maka harus memperhatikan faktor atribut fisik alat pengering, perilaku termal pengering, perilaku pengeringan produk, kualitas produk kering, dan kelayakan ekonomi alat pengering. “Penting diperhatikan juga adalah jenis komoditas yang mau dikeringkan,” ungkap lulusan program sarjana teknik kimia Undip tahun 1999 yang langsung mendapat beasiswa melanjutkan langsung ke S2 di Institut Teknologi Bandung.

Saat ini beberapa alat pengering surya hybrid skala lab dan industri sudah dirancang dan dapat beroperasi dengan baik. Disebut surya hybrid karena merupakan kombinasi energi surya dengan energi lain seperti biogas, kayu bakar dan juga elpiji. Alat rancangan ini telah berhasil diujicobakan untuk mengeringkan tepung tapioka, padi, bawang merah, tepung mocaf, jahe, tomat, kopi, dan beberapa komoditas pertanian lainnya. Hasil uji coba menunjukkan bahwa alat sangat layak secara teknis dan ekonomi.

Biji kopi bisa dikeringkan dalam waktu 10 jam jauh lebih cepat dibandingkan secara tradisional yang membutuhkan waktu satu minggu lebih. Efisiensi energi pengering rata-rata 54,15%. Karena itulah, dikembangkan pengering surya hybrid untuk membantu UKM Kopi di Kabupaten Temanggung yang mampu mengeringkan biji kopi dengan kadar air awal 55% menjadi 8-10%.

“Dengan mesin pengering surya hybrid kualitas kopi yang dihasilkan sudah sesuai standar SNI. Pengeringan ini penting sekali karena kualitas kopi 60%-nya ditentukan proses pengeringan. Biasanya penjemuran makan waktu 2-3 minggu dan sangat tergantung cuaca, selain itu saat penghamparan kopi perlu sering dibalik sekitar 1-2 jam sekali. Kalau musim hujan terpaksa kopi dijual dengan harga murah karena kandungan air tinggi. Kopi terpaksa dijual karena khawatir busuk,”  kata dosen yang antara lain mengampu mata kuliah Teknologi Proses Pangan, Teknologi Bersih, Teknologi Separasi, Humidifikasi dan Pengeringan, Transportasi Fluida dan Zat Padat, Teknologi Pembakaran, serta Hidrogen dan Fuell Cell.

Produk pengering lain yang sudah dikembangkan dan berhasil baik adalah pengeringan suun di Usaha Kecil Menengah (UKM) Klaten. Sebelumnya mereka tidak dapat bekerja saat hujan dan membutuhkan waktu 1 hari untuk menjemur dan dengan alat pengering surya tertutup bisa dipangkas hanya 2 jam.

Suherman dan tim juga membantu UKM tapioka Pati yang memiliki potensi ekonomi besar. Ada sekitar 400 UKM di wilayah itu dengan nilai produk Rp 3 Miliar per hari. Sebelumnya mereka butuh waktu 2 hari untuk mengeringkan produk dan tidak dapat berproduksi kalau hujan. “Dengan mesin yang kami kembangkan hanya membutuhkan waktu dua jam dan dapat menghasilkan produk dengan standar SNI,” kata Suherman yang saat ini menjadi Ketua Asosiasi Pendidikan teknik Kimia Indonesia.

Adapun pengering surya hybrid kayu bakar sudah digunakan untuk tepung mocaf di Wonogiri. Tepung mocaf adalah tepung singkong termodifikasi di fermentasi sampai menjadi setara dengan tepung terigu yang selama ini masih impor. Di Palangkaraya, Kalimantan Tengah digunakan untuk pengering bawang merah, merupakan kerjasama dengan pemerintah daerah setempat dan Kementerian Pertanian.

Lelaki kelahiran Cirebon Cirebon, 4 Agustus 1976 yang menempuh pendidikan dasar dan menengahnya di Kota Udang saat ditanya pencapaiannya sebagai profesor dalam usia yang masih cukup muda, mengaku sangat bersyukur. Ayahnya seorang petani garam lulusan sekolah dasar (SD), sementara ibunya seorang pedagang batik keliling yang tidak tamat SD, namun semua anaknya mendapat pendidikan yang baik. “Dosen itu selayaknya bisa menjadi guru besar, selain sekarang ini harus menjadi doktor,” kata alumni SMAN 3 Cirebon.

Ayah tiga anak buah perkawinannya dengan Suaibatul Aslamiyah S.Pd.I ini bertekad terus mengembangkan inovasi, utamanya untuk produk pangan agar petani Indonesia menikmati hasil usahanya dengan lebih baik. “Menjadi profesor seperti memasuki gerbang kehidupan baru. Ada tantangan untuk memberikan ilmu yang bermanfaat, sesederhana apapun,” tukasnya. (tim humas)

Share this :
Exit mobile version