Site icon Universitas Diponegoro

dr. Martha Ardiaria (Dosen Fakultas Kedokteran Undip): Mencintai Seni Tradisional, Bukanlah Sesuatu Yang Memalukan di Era Modern

Arus globalisasi yang begitu deras ini tentunya membuka peluang bagi banyaknya budaya luar yang masuk, namun bagi dr. Martha Ardiaria, Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, ia tetap teguh mencintai kebudayaan Indonesia secara nyata dengan fokus pada seni tari tradisional.

“Saya orang yang terikat dengan identitas dan merasa nyaman dengan identitas yang melekat pada diri saya sendiri, termasuk tradisi atau seni budaya. Jadi saya mencintai budaya kita karena itu bagian dari self love, dan terjadi secara natural. Setiap budaya ada plus minusnya, saya selalu nyaman menggunakan pakaian sendiri karena saya tidak menggunakan standar yang digunakan orang lain untuk menilai baik dan buruk, pantas atau tidak pantas dan lain-lain. I set my own value, ini dalam konteks mencintai budaya sendiri. Jadi atas dasar nyaman menjadi diri sendiri dengan identitas budaya itulah yang membuat saya selalu bangga berkesenian atau berbudaya milik saya sendiri, meskipun budaya orang lain juga bagus-bagus. Saya tidak anti budaya asing tapi lebih suka mendeskripsikan diri sebagai tampil apa adanya saya dan mencintai apa adanya saya, termasuk budaya dan adat yang saya miliki” ungkapnya.

“Kontribusi yang bisa saya berikan pada masyarakat dengan turut berpartisipasi secara langsung dalam acara kesenian, baik tari, menyayi, atau wayang. Saya pernah tergabung dalam kelompok kesenian wayang orang Ngesti Pandowo Semarang dan rutin tampil setiap sabtu malam, atau di acara-acara khusus lainnya. Untuk seni suara, saya pernah tergabung dalam kelompok Campur Sari Bank Jateng dan mengisi acara bulanan di TVRI Jateng” lanjutnya.

Secara tidak langsung dr. Martha ingin menyampaikan pesan bahwa berkesenian tradisional bukanlah hal yang memalukan, atau ketinggalan jaman, atau kurang bergengsi. Seni itu masalah selera, semuanya bagus, menurut standar masing-masing. Dan seni bukan dunia hitam putih, seni punya banyak spektrum, punya keunggulan sendiri-sendiri dan sebaiknya tidak dibanding-bandingkan.

“Saya tidak pernah punya pandangan jika sebuah kesenian memiliki posisi yang lebih unggul dari seni jenis lainnya. Dalam scope yang lebih luas saya ingin membangkitkan kesadaran tentang value seni bahwa preferensi seseorang untuk memilih apa yang dia sukai tidak membutuhkan persetujuan atau approval dari pihak lain. Jadi kita suka apa yang memang benar-benar kita sukai, tidak sekedar terombang ambing arus” ujarnya.

Di Undip, dr. Martha juga berkesempatan menjadi pembina unit kegiatan mahasiswa bidang seni (kegiatan tari dan paduan suara). Ia mencoba menyelami alam pikiran mahasiswa jaman sekarang tentang apa yang membuat mereka lebih menyukai budaya populer (misal kesenian pop korea) dibandingkan seni tradisi yang kita miliki, dari hal itu akan bisa diuraikan satu per satu apa sebenarnya yang membuat sebagian kalangan menganggap seni tradisi adalah sesuatu yang kuno dan bisa diambil langkah nyata untuk melindungi supaya seni tradisi tidak punah. Memang tidak bisa dihindari ada beberapa hal yang mungkin perlu dimodifikasi karena sudah menjadi kewajaran bahwa apa yang tidak adaptif akan punah tergerus jaman.

Di tengah kesibukannya sebagai dosen sekaligus dokter, ia masih bisa membagi waktu saat latihan menari atau ketika ada banyak pementasan. “Akan selalu ada waktu untuk diada-adakan jika menyangkut  hal yang disukai, tapi  dengan manajemen waktu yang baik, artinya tidak menunda-nunda pekerjaan agar tidak menumpuk dan segera bisa beralih ke aktivitas lain. Ketika bekerja saya tidak memikirkan hal lain selain pekerjaan, begitu juga ketika sedang berkesenian atau berkegiatan lain. Perlu pengalaman untuk bisa menyeimbangkan berbagai aspek dalam berkehidupan. Meskipun tidak selalu berhasil, tapi sampai sekarang  saya tetap harus belajar” katanya.

dr. Martha menyukai kisah-kisah wayang purwa, yang juga dimainkan dalam wayang orang. Kisahnya sebagian besar perkiblat pada kitab Ramayana dan Mahabharata. Menurutnya, filosofi pada cerita wayang sangat dalam. Wayang sendiri berarti bayangan, atau bisa diartikan gambaran cerita-cerita yang terjadi di dunia ini. Hal yang sangat sering digambarkan oleh wayang adalah karakter manusia. Pada wayang digambarkan sebuah karakter tidak ada yang bersifat mutlak, selalu ada setitik kebaikan pada sesuatu yang jahat, dan sebaliknya. Tidak ada hitam yang benar-benar hitam, dan tidak ada putih yang benar-benar putih. Baginya value tersebut penting, karena membuat kita berusaha memahami apa yang dipikirkan atau dilakukan seseorang, misalnya tidak mudah menghakimi suatu hal karena semuanya relatif. Dan ujungnya adalah melatih rasa empati, merasakan apa yang orang lain rasakan, dan semua itu juga merupakan sesuatu yang dibutuhkan dalam profesi dokter.

“Saya menari sejak TK, jadi tempat pentasnya ada dimana-mana namun secara umum saya pernah pentas di sekolah atau kampus, di beberapa instansi, hotel dan kafe di Jakarta. Saat studi di Jakarta saya menjadi penari Bali, lalu beberapa gedung kesenian di Semarang, Jakarta, dan Surakarta, mengikuti festival wayang orang di RRI Surakarta, dan paling jauh di Belanda mewakili Undip dalam acara Pasar Malam Indonesia tahun 2012. Menurut saya menari sejajar dengan meditasi, sebab saat menari pikiran saya relax, waktu serasa berhenti, hidup tidak lagi diburu-buru sesuatu. Dalam kondisi seperti itu hormon-hormon bahagia diproduksi sehingga cara pandang kita terhadap hidup atau masalah menjadi berbeda, lebih santai. Dari gerak fisiknya pun jika dilakukan bersungguh-sungguh dan rutin dapat diperhitungkan sebagai aktivitas fisik yang setara olahraga. Jadi kegiatan menari ini baik untuk kesehatan jiwa maupun jasmani” terang dr. Martha.

“Nyamanlah dengan dirimu sendiri, tidak perlu merasa inferior atau superior terhadap budaya luar, karena semua punya pesonanya sendiri, seperti bunga dengan segala keelokannya dan semuanya mempercantik alam. Jujur pada diri sendiri, dengan demikian apa yang kurang baik pada diri atau budaya kita semestinya dikikis, dan yang baik dipertahankan. Begitu pula ketika kita mengadopsi budaya luar, harus ada filternya, tidak semua secara mentah-mentah diadopsi. Pergilah sampai ujung dunia, terbanglah setinggi cakrawala, tetapi jangan pernah lupakan siapa dirimu yang sebenarnya. Kehalusan yang ada pada seni seharusnya dapat dijadikan latihan untuk mempertajam hati nurani, sehingga lebih mampu merasakan mana yang baik dan tidak, hasil akhirnya adalah berbuat baik tidak perlu disuruh dan diawasi” pesannya pada generasi muda.

Sebagai Dosen Undip ia berharap civitas akademika Undip semakin diterima pada kalangan yang lebih luas. “Semoga lulusan-lulusan Undip memiliki kompetensi unggul sebagai wujud capaian pembelajaran dan mampu menunjukkan bahwa pendidikan yang diterima di Undip dapat menciptakan pribadi yang mandiri, menyebar kebermanfaatan, menjalani kehidupan yang bermakna, serta tidak menjadi bagian manusia-manusia perusak alam yang masif.  Terlepas dari prestasi-prestasi akademik dari pengajar dan mahasiswa, dimana banyak diantaranya berskala dunia, keunggulan Undip sudah tidak perlu dipertanyakan lagi” pungkasnya. (Linda Humas)

Share this :
Exit mobile version