, ,

Drs. Slamet Subekti, M.Hum. (Dosen Sejarah FIB UNDIP): Memaknai Kemerdekaan di Masa Pandemi Dengan Meneguhkan Komitmen Solidaritas Sosial

Peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) Ke-76 Republik Indonesia dirayakan di tengah perjuangan melawan Covid-19. Meskipun tahun ini Indonesia masih dirundung pandemi tetapi tidak menyurutkan semangat rakyat dalam menyambut hari kemerdekaan Indonesia. Masyarakat tetap bisa ikut merasakan semangat menyambut Hari Kemerdekaan secara online mulai dari upacara bendera, sampai mengikuti lomba secara daring.

“Pandemi Covid-19 yang kita hadapi bersama ini kiranya semakin meneguhkan komitmen solidaritas sosial kita yang sudah menjadi tradisi bangsa, yaitu semangat Gotong Royong. Baiknya kita memaknai Gotong Royong ini bukan seperti mantra sakti, tetapi lebih pada panggilan untuk peduli sesama dengan kesediaan empati dan kerelaan mendedikasikan diri dan harta milik kita guna membantu sesama warga yang membutuhkan. Dalam arti ini, kita boleh merayakan kemerdekaan ini dengan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa melalui bela rasa kepada saudara-saudara kita penyintas Covid-19” tutur Drs. Slamet Subekti, M.Hum., Dosen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro.

“Bela rasa ini dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk, misalnya menjadi relawan tenaga kesehatan, gerakan jaga tangga, gerakan Canthelan yang menyediakan paket sayur-mayur maupun sembako yang digantungkan di depan pagar, dan lain sebagainya. Gerakan ini dimungkinkan oleh kesadaran bahwa kita sebagai warga negara merasa terpanggil boleh berbuat sesuatu untuk kepentingan bersama. Sungguh pun menjadi kewajiban pemerintah untuk hadir mengatasi pandemi Covid-19, tetapi kita warga negara terpanggil untuk berkontribusi dengan semangat Gotong Royong” lanjutnya.

Ia menyampaikan bahwa kemerdekaan bagi bangsa Indonesia melalui momentum Proklamasi 17 Agustus 1945 hakikatnya adalah pembebasan dari belenggu penjajahan. Sejak negara Indonesia merdeka, maka memiliki kedaulatan untuk menentukan nasib bangsa sendiri. Dalam arti ini, dimensi pertama kemerdekaan negara kita adalah politik –meminjam istilah Bung Karno bahwa kemerdekaan adalah “Jembatan Emas” menuju masa depan bangsa Indonesia yang gemilang. Inilah modal politik yang pertama kali dimiliki oleh bangsa kita untuk menyusun agenda ke depan bagaimana hendak mengisi kemerdekaan ini, dengan membangun berbagai infrastruktur politik, ekonomi, sosial-budaya, dan pertahanan-keamanan.

“Beruntungnya kita memiliki para pendiri negara yang visioner dengan pertama-tama mempersatukan semua komponen bangsa sebagai modal sosial. Disini lah arti penting dasar filsafat negara Pancasila sebagai nilai-pengikat yang mempersatukan seluruh anak bangsa dengan keberagaman yang luar biasa. Pendek kata, agenda bangsa kita paska kemerdekaan adalah menyusun strategi budaya untuk membangun bangsa Indonesia demi mewujudkan tujuan nasional dengan berladasan pada inti-budaya bangsa kita sebagaimana terungkap dalam nilai-nilai Pancasila” terangnya.

Menurutnya, berbicara tentang wawasan kebangsaan (Nasionalisme) dan semangat cinta tanah air (Patriotisme) itu conditio sine qua non –yang mesti ada bagi peneguhan identitas suatu bangsa. Negara mana pun secara sadar menanamkan nasionalisme dan patriotisme kepada warga negaranya termasuk generasi muda. Pengalaman negara-negara Fasis misalnya, penanaman nasionalisme dan patriotisme itu dilakukan dengan cara indoktrinasi; berbeda dengan negara-negara demokratis menggunakan pendekatan kulturasi. Saya sepakat dengan pendekatan budaya dalam rangka penyadaran warga negara akan hak dan kewajibannya dalam bingkai pemenuhan hak-hak asasi manusia.

“Saya termasuk orang yang optimis akan fungsi pendidikan sebagai media yang efektif untuk transformasi nilai-nilai nasionalisme dan patriotisme. Pengalaman menunjukkan bahwa model pembelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan selama ini perlu dikemas lebih menarik dengan penyediaan ruang yang leluasa bagi mahasiswa untuk melihat sendiri bagaimana suprastuktur dan infrastruktur politik di negara ini dijalankan, seperti kunjungan ke lembaga-lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif tingkat nasional maupun daerah. Dari kunjungan tersebut mahasiswa akan mengetahui langsung, dan pada gilirannya dapat melakukan analisis kritis berdasarkan kerangka teoretis tentang praktik kenegaraan di lapangan” ungkapnya.

Lebih lanjut ia mengatakan di masa pandemi ini tentu banyak menghadapi keterbatasan, misalnya tidak mungkin berkunjung langsung secara kelompok ke Walikota/Bupati atau rapat terbuka DPRD tetapi dapat digantikan dengan mengunjungi Web/You Tube terkait, di samping penyediaan ekstra ruang diskusi (meskipun virtual) dengan memanfaatkan sarana teknologi informasi. Model pembelajaran learning by doing dengan keterlibatan aktif mahasiswa ini penting untuk membuka wawasan, dan ini sulit dicapai dengan model pembelajaran teoretis belaka.

“Bagi generasi milenial yang hidup dalam dunia teknologi informasi tentu menghadapi tantangan global yang lebih besar dibandingkan dengan generasi saya yang masuk kuliah tahun 1980an. Menurut saya penting untuk membangun optimisme, dan saya pikir ini berlaku untuk semua generasi. Pada intinya, apa pun program studi dan pada gilirannya nanti profesi yang kita tekuni dengan optimisme insya Allah dapat kita dedikasikan untuk kemaslahatan. Oleh karena itu, baiknya kita tetap semangat dan berkomitmen mengisi kemerdekaan ini dengan posisi dan prestasi kita masing-masing” pungkasnya. (Linda Humas)

Share this :

Kategori

Arsip

Berita Terkait