SEMARANG – Fakultas Kesehatan Masyarakat mengajak seluruh civitas akademika untuk mendukung penanganan Covid-19 melalui gerakan literasi kesehatan di ruang digital. Literasi kesehatan di ruang digital perlu digalakkan untuk menangkal peredaran hoax yang mengganggu penanganan Covid-19 dengan munculnya isu-isu yang menyesatkan.

Salah satu isu yang menganggu program penanganan Covid-19 adalah tentang bahaya vaksin, sehingga membuat sebagian masyarakat menjadi ragu-ragu melakukan vaksinasi. Demikian poin yang muncul dalam webinar bertajuk “Pentingnya Literasi Kesehatan Digital dalam Mencegah Penyebaran Hoax Covid-19”, yang digelar FKM Undip belum lama ini dan diikuti sekitar 600 peserta. Webinar tersebut menghadirkan dua pembicara, yakni Pegiat Literasi yang juga seorang pengajar di Universitas Sebelas Maret (UNS), Retno Tanding Suryandari, S.E., M.E., Ph.D.; serta Peneliti dari Centre for Health Economics & Policy Innovation Imperial College London, Dr. Dian Kusuma, S.KM, M.PH.

Ketua Bagian Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku FKM Undip, Dr. Drs. Syamsulhuda Budi Musthofa, M.Kes, saat memberi sambutan mengatakan pelaksanaan webinar ini merupakan salah satu rangkaian acara dari Health Promotion (HP) Fest 2021. Syamsulhuda berharap kegiatan ini bisa menjadi bagian dari upaya mengedukasi masyarakat, terutama pemerhati masalah kesehatan.

Menurutnya, di tengah pandemi Covid-19 terpaan berita dan informasi dari berbagai media silih berganti. Di mana informasi yang  didapatkan menjadi satu hal yang sulit untuk dicerna dengan baik, apakah memiliki nilai informasi yang benar ataukah yang salah sehingga menjadi tantangan bagi promotor kesehatan dan tenaga pelayanan kesehatan untuk menindak-lanjutinya.

“Maka dari itulah, kegiatan webinar ini kami gelar dengan tema pentingnya literasi kesehatan digital dalam mencegah penyebaran hoax Covid-19 dengan harapan bisa memberikan pencerahan serta edukasi bagi peserta terutama para pemerhati masalah kesehatan,” katanya.

Dekan FKM Undip Dr. Budiyono, S.KM., M.Kes. menambahkan bahwa webinar ini penting diadakan. Menurutnya, hoax  sudah gencar sebelum adanya pandemi, apalagi ketika kondisi seperti sekarang dengan akses yang sangat mudah, orang banyak mengakses dari media yang terpaannya sangat luar biasa sehingga data yang disampaikan melalui media perlu dipilah dan dipilih. “Langkah ini yang kemudian kami ambil demi menghindari kegaduhan dan salah tafsir. Tidak hanya saat ini tapi juga untuk saat mendatang,” tegas Budiyono.

Sementara itu, dalam penyampaian materi tentang literasi kesehatan digital, Dr. Dian Kusuma S.KM, M.PH, menuturkan bahwa pada bulan April 2020 Thomas Abel bersama David McQueen dari University of Bern mengeluarkan artikel tentang pentingnya literasi kesehatan di tengah Covid-19.

Mereka mengungkapkan bahwa masyarakat akan susah memahami apa yang ahli atau politisi sampaikan. Apalagi, di awal-awal pandemi banyak ketidakpastian pengetahuan tentang Covid-19 yang berubah-ubah setiap saat. Dia menekankan perlunya komunikasi yang tegas dan jelas kepada masyarakat. Karena apapun yang disampaikan oleh pemimpin atau ahli, itulah yang coba dimengerti masyarakat.

Sedangkan dalam literasi kesehatan digital, meski hanya menambahkan satu kata “digital” saja membuat literasi kesehatan lebih rumit. Hal ini dikarena implementasinya membutuhkan beberapa tambahan faktor seperti literasi komputer, literasi media, literasi tradisional, literasi informasi, dan literasi saintifik.  “Sehingga banyak hal dari sisi personal yang mempengaruhi literasi kesehatan digital di antaranya umur, keadaan kesehatan, dan latar belakang pendidikan. Perlu diketahui bersama juga bahwa, awal dari literasi kesehatan adalah memahami informasi yang ada, dan berujung pada membuat aksi personal,” ujarnya.

Sedangkan Retno Tanding Suryandari, S.E., M.E., Ph.D. mengatakan bahwa berita bohong atau hoaks mengalami peningkatan di tengah kondisi pandemi Covid-19. Mafindo telah mendata bahwa tahun 2020 ini ada sebanyak 2298 hoaks yang muncul di tahun 2020. Sebanyak 788 atau 34,3% di antaranya merupakan hoax tentang Covid-19. Sedangkan di tahun 2021, rasio ini menurun  dari 2298 menjadi 1044 hoaks yang baru. Namun, masih ada sekitar 25% yang merupakan hoaks tentang Covid-19.

Dalam dunia komunikasi ia menjelaskan ada beberapa macam informasi di antaranya misinformasi, disinformasi, dan malinformasi. Misinformasi atau missinformation ini adalah informasi yang salah, tetapi orang yang menyebarkannya itu percaya bahwa itu benar. Yang kedua disinformasi, dimana informasi yang salah yang disebarkan dengan sengaja oleh orang yang tahu bahwa informasi ini salah. “Jadi sudah ada unsur kesengajaan disini,” tegasnya.

Menurutnya, hoaks masuk ke dalam kategori disinformasi. Dan yang terakhir malinformasi yang artinya dasar kebenarannya itu ada, tetapi sengaja digunakan untuk merugikan orang, organisasi, atau negara lain. Kemudian, akses internet yang membuat manusia memasuki era baru menjadi salah satu penyulut mudahnya hoaks berkembang. Ketika sebelum memasuki era internet, berita hanya bisa diakses melalui tv, radio serta koran dan masyarakat hanya jadi penikmat. “Berbeda dengan sekarang ketika internet sudah muncul dan menjadi bagian dalam kehidupan kita,” ujarnya.

Dengan adanya media sosial memungkinkan seseorang tidak hanya menjadi penikmat, pembaca, atau pendengar tapi juga pembuat berita dan juga penyebarnya. “Dari pintu inilah hoaks bisa muncul dan tersebar. Kadang jari kita lebih cepat dari apa yang kita pikirkan,” katanya pada kegiatan yang digelar Sabtu (20/11/2021).

Fenomena yang seringkali terjadi, masyarakat membagikan tanpa mencerna informasi itu terverifikasi benar atau tidak. Maka dari itu pentingnya memahami literasi kesehatan digital masyarakat sekarang ini ditengah derasnya arus informasi.  Menurutnya, ada beberapa alasan yang menyebabkan hoaks mudah tersebar yaitu bentuk partisipasi masyarakat, mencari pengakuan atau eksistensi, mendapatkan profit, bentuk provokasi, dan propaganda. (tim humas)

Share this :