Site icon Universitas Diponegoro

Menjelajah Luasnya Spektrum Sejarah Pendidikan, Departemen Sejarah UNDIP Gelar Workshop

Semarang, Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Diponegoro (Undip) pada 12 Maret 2022 menyelenggarakan Workshop Metodologi Sejarah Seri V dengan tema besar Sejarah Pendidikan. Dalam kesempatan ini, Dr. Dhanang Respati Puguh, M.Hum., selaku Ketua Departemen Sejarah menyampaikan bahwa workshop ini sengaja diinisiasi oleh Departemen Sejarah untuk memperkaya perbendaharaan topik skripsi para mahasiswa S1 Sejarah Undip. Sejak tahun 2020, workshop serupa telah diselenggarakan dengan mengangkat beragam tema, di antaranya sejarah lingkungan, biografi, sejarah kebudayaan, sejarah visual, dan sejarah perkotaan.

Dengan track record publikasi ilmiah yang melimpah berkaitan dengan sejarah pendidikan, yang telah terbit di berbagai jurnal internasional bereputasi, seperti Journal of Southeast Asian Studies, Bijdragen tot de taal-, land-en volkenkunde, History and Education, dan lainnya, sudah sangat tepat apabila Departemen Sejarah Undip mengundang Dr. Agus Suwignyo, M.A., dari Universitas Gadjah Mada (UGM) sebagai pembicara pada kesempatan ini.

“Kita akan mulai pembicaraan mengenai sejarah pendidikan dengan sebuah pertanyaan. Apakah ada kekhasan dari tema sejarah pendidikan? Atau hanya sekadar penggabungan antara sejarah dan pendidikan?” papar dosen UGM yang kerap membagikan penelitiannya di harian Kompas ini.

Workshop yang dimoderatori oleh Mahendra Pudji Utama, S.S., M.Hum., ini menjadi ruang yang berharga untuk mendiskusikan terkait interaksi kajian sejarah dengan pendidikan. Sebetulnya, kajian sejarah pendidikan bisa ditelusur dari beraneka pendekatan karena memiliki  spektrum yang luas. Pendekatan kajian sejarah pendidikan tidak harus didasarkan pada ilmu pendidikan atau pengajaran karena pendidikan adalah spektrum kebudayaan. Sekolah dan ruang kelas adalah bagian dari komunitas masyarakat yang memiliki subsistem yang unik. Pendidikan dilihat sebagai spektrum kebudayaan mengandung dimensi politik, ekonomi, sosial, dan persekolahan. Selain itu, ada elemen-elemen khas yang melingkupi kajian ini, khususnya dari segi metodologi.

Pada kesempatan ini, Dr. Agus menjelaskan mengenai cakupan pendidikan sebagai spektrum kebudayaan bahkan politik, yang tidak terlepas dari unsur-unsur bendawi (tangible) dan non-bendawi (intangible). Sebagai contoh, kurikulum tidak hanya dapat dilihat sebagai objek material yang tangible dan menjadi instrumen pendidikan, tetapi lebih jauh dari itu, kurikulum bisa jadi merupakan cermin dari satu pandangan politik pendidikan tertentu yang lebih besar.

“Kurikulum bisa jadi lahir dari proses negosiasi kekuasan sehingga mencapai kompromi yang merumus dalam kurikulum. Tentu saja, kita tidak bisa fokus hanya pada isi kurikulum tanpa melengkapi konteks yang membungkus kurikulum tersebut. Selain itu, buku teks, juga mencerminkan suatu pandangan politik tertentu pada masanya.” ungkap Dr. Agus.

Dengan demikian, sejarah pendidikan tidak berada dalam ruang hampa. Proses persekolahan selalu ada dalam konteks yang lebih luas. Oleh sebab itu, sejarah pendidikan dapat memakai pendekatan politik, kebijakan publik, ekonomi, sains, sosiologi, psikologi, antropologi, filsafat, dan lainnya. Misalnya, penelitian mengenai sekolah Taman Siswa dari perspektif ekonomi. Bagaimana Taman Siswa bisa survive meskipun tidak bersikap kooperatif pada pemerintah kolonial Belanda, sementara banyak sekolah yang goyah karena sumber pendanaan goyah. Bagaimana Taman Siswa lahir dari kajian teori ekonomi menjadi diskursus yang sangat menarik. Ulasan mengenai Taman Siswa tidak semata dilihat dari unsur tangible persekolahan sebagaimana narasi mayor yang berkembang, tetapi bisa dari berbagai pendekatan dan metodologi. Oleh sebab itu, memahami sejarah pendidikan hanya dari spektrum persekolahan akan menjadikan historiografi sejarah sangat kering.

Contoh lainnya, bisakah jadwal yang tangible bisa merefleksikan suatu dimensi kebudayaan atau politik tertentu. Hal ini bisa dibaca dalam jadwal mata pelajaran di sekolah. Pada tahun 1914, pemerintah kolonial Belanda selalu menempatkan pelajaran agama di luar jam sekolah, yaitu setelah pukul 12.45. Pelajaran agama baru dimulai pada pukul 14.00 siang. Sebagaimana penyelenggaraan pengajaran agama di sekolah SMA Jetis di Yogyakarta, dimana K.H. Ahmad Dahlan pernah menjadi guru agama di sana. “Dari kasus mata pelajaran, kita bisa membaca dengan kerangka lain, yang mengangkut lingkup politik dan kebijakan dengan nuansa sosiologis.” terang Dr. Agus.

(Fanada Sholihah/ Sejarah)

Share this :
Exit mobile version