Site icon Universitas Diponegoro

Prodi Psikiatri FK UNDIP Kupas Tuntas Mengenai Dissociative Identity Disorder (DID) dan Borderline Personality Disorder (BPD)

Program Studi (Prodi) Pendidikan Dokter Spesialis Psikiatri, Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Diponegoro (Undip) bersama dengan Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) Cabang Semarang telah menggelar Webinar mengenai Dissociative Identity Disorder (DID) dan Borderline Personality Disorder (BPD) pada Jum’at (08/04) pukul 13.00 WIB di platform Zoom meeting dan live streaming official channel Youtube UndipTV.

Webinar digelar dalam rangka mengedukasi masyarakat mengenai Dissociative Identity Disorder (DID) atau Gangguan Identitas Disosiatif dan Borderline Personality Disorder (BPD) atau Gangguan Kepribadian Ambang. Webinar kali ini turut mengundang Dr. dr. Alifiati Fitrikasari, Sp.KJ(K)., yang membawakan materi seputar Dissociative Identity Disorder (DID) atau Gangguan Identitas Disosiatif dan dr. Natalia Dewi Wardani, Sp.KJ., yang menyampaikan materi seputar Borderline Personality Disorder (BPD) atau Gangguan Kepribadian Ambang.

Dr. dr. Alifiati Fitrikasari, Sp.KJ(K)., menjelaskan Dissociative Identity Disorder (DID) atau Gangguan Identitas Disosiatif ialah gangguan identitas yang ditunjukkan dengan adanya dua atau lebih keadaan kepribadian yang berbeda dengan diskontinuitas dalam sense of self and agency dan dengan banyak variasi dalam affect, perilaku, kesadaran, memori, persepsi, kognini, atau fungsi sensorik-motorik.

“Jadi jarang DID itu hanya muncul 2 kepribadian, biasanya lebih dari 2 kepribadian. Menurut DSM-III (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders-III), DID itu adalah multiple personality disorder atau kepribadian ganda.” ungkap dr. Alifiati.

Dissociative Identity Disorder (DID) saat ini dipahami sebagai gangguan perkembangan pasca trauma kompleks kronis dimana pengalaman buruk biasanya dimulai pada anak usia dini dan dimana identitas disosiatif dihasilkan dari ketidakmampuan anak untuk mengembangkan dan mempertahankan rasa kesatuan diri di berbagai keadaan perilaku yang berbeda.

dr. Alifiati menambahkan penyebab dari Dissociative Identity Disorder (DID) berasal dari faktor psikososial dan faktor biologi. Faktor psikososial meliputi trauma perkembangan, gejala sisa kognitif sosial, trauma yang mengakibatkan respon neurobiologi. “Sedangkan faktor biologi disini termasuk mekanisme epigenetik, tetapi belum ada bukti langsung bahwa DID itu adalah faktor genetik biologi.” ungkapnya.

Diagnosis Dissociative Identity Disorder (DID) dikaitkan dengan paparan ambivalensi ekstrim dan pelecehan pada anak usia dini yang diatasi dengan bentuk penyangkalan yang rumit sehingga anak percaya bahwa peristiwa itu terjadi pada orang lain. “Karena tahap kehidupan seorang anak ketika teman imajiner ‘ada’, dianggap sebagai ‘solusi’ untuk trauma parah pada tahap itu mungkin merupakan identitas yang terpisah.” ucap dr. Alifiati.

Pelecehan pada anak yang parah serta tidak adanya dukungan keluarga dan lingkungan sosial menjadi salah satu penyebab dari munculnya Diagnosis Dissociative Identity Disorder (DID).

“Jadi disini faktor sosial dan keluarga juga berkontribusi terhadap munculnya suatu gangguan DID. Kecenderungan untuk memisahkan diri tampaknya sangat terkait dengan struktur keluarga yang patogen dan gangguan keterikatan yang diperoleh di awal kehidupan anak seperti halnya dengan temperamen atau genetika asli. Gaya pengasuhan terhadap DID biasanya otoriter dan kaku, tetapi secara paradoks dengan kebalikan dari hubungan orang tua dan anak.” jelasnya.

“Prevalensi lebih banyak pada pasien psikiatri dewasa di rawat jalan dan IGD. Jadi memang trauma pada masa anak-anak, tetapi muncul DID biasanya di masa dewasa.” sambung dr. Alifiati.

Selanjutnya dr. Alifiati menjelaskan untuk tatalaksana Dissociative Identity Disorder (DID) dapat menggunakan psikoterapi. Dalam psikoterapi ini terdapat model phasic yang terdiri dari 3 tahap. Tahap pertama melibatkan pasien untuk membangun keamanan dan stabilitas. Kemudian pada tahap kedua berfokus pada menjaga stabilitas serta mengeksplorasi narasi trauma dan menyelesaikan emosi, keyakinan, dan perilaku terkait trauma. Sedangkan pada pengobatan tahap ketiga menekankan integrasi identitas dan hidup tanpa ketergantungan pada disosiasi.

Sementara itu, dr. Natalia Dewi Wardani, Sp.KJ., melanjutkan paparan materi seputar Borderline Personality Disorder (BPD) atau Gangguan Kepribadian Ambang. Borderline Personality Disorder (BPD) merupakan gangguan kesehatan mental yang mempengaruhi cara seseorang berpikir dan merasa tentang diri sendiri dan orang lain. Hal ini menyebabkan masalah fungsi dalam kehidupan sehari-hari, termasuk masalah citra diri, kesulitan mengelola emosi dan perilaku, dan pola hubungan yang tidak stabil.

“Gangguan kepribadian ambang biasanya dimulai pada awal masa dewasa. Kondisi ini tampaknya lebih buruk di masa dewasa muda dan mungkin secara bertahap menjadi lebih baik seiring bertambahnya usia.” jelas dr. Natalia.

Menurut dr. Natalia penyebab Borderline Personality Disorder (BPD) dapat dikaitkan dengan faktor lingkungan, faktor genetika, dan kelainan otak. “Selain faktor lingkungan seperti riwayat pelecehan atau penelantaran anak, gangguan kepribadian ambang dapat dikaitkan dengan genetika karena dalam beberapa penelitian terhadap saudara kembar dan keluarga menunjukkan bahwa gangguan ini mungkin diturunkan. Selain itu ada faktor karena kelainan otak. Dalam beberapa penelitian telah menunjukkan perubahan di area otak tertentu dalam regulasi emosi, impulsif, dan agresi. Sehingga orang dengan gangguan kepribadian ambang itu ada ketidakstabilan emosi” ucapnya.

dr. Natalia menambahkan ada beberapa faktor resiko seseorang dapat terkena Borderline Personality Disorder (BPD), yaitu predisposisi turun temurun dan masa kecil yang penuh tekanan. “Anda mungkin berisiko lebih tinggi jika kerabat dekat memiliki kelainan yang sama.” tambahnya.

Selain itu, ada beberapa gejala seseorang terkena Borderline Personality Disorder (BPD) yakni memiliki ketakutan yang kuat akan pengabaian, kesulitan menoleransi kesendirian, ada perilaku impulsif dan berisiko, ketidakstabilan suasana hati, masalah citra diri, pola hubungan tidak stabil, dan paranoia.

“Gangguan kepribadian ambang dapat merusak banyak bidang kehidupan anda. Ini dapat berdampak negatif pada hubungan intim, pekerjaan, sekolah, aktivitas sosial, dan citra diri. Seseorang dengan gangguan kepribadian ambang dapat kehilangan pekerjaan yang berulang, tidak menyelesaikan pendidikan, hubungan penuh konflik, terkena masalah hukum, mencederai diri sendiri, berperilaku kasar, dan mencoba bunuh diri.” ungkap dr. Natalia.

Borderline Personality Disorder (BPD) dapat dialami bersamaan dengan gangguan mental lain, yaitu depresi, penyalahgunaan zat terlarang, gangguan kecemasan, gangguan makan, gangguan bipolar, gangguan stres pascatrauma, gangguan pemusatan perhatian/hiperaktivitas, dan gangguan kepribadian lainnya.

Lebih lanjut dr. Natalia mengungkapkan Borderline Personality Disorder (BPD) dapat diobati dengan menggunakan psikoterapi dan dapat ditambahkan dengan obat-obatan. “Terapi dapat membantu anda mempelajari keterampilan untuk mengelola dan mengatasi kondisi anda. Dengan terapi, anda dapat merasa lebih baik tentang diri sendiri dan menjalani kehidupan yang lebih stabil. Meskipun tidak ada obat yang khusus untuk pengobatan gangguan kepribadian ambang, obat-obatan tertentu dapat membantu mengatasi gejala yang muncul bersamaan seperti depresi, impulsif, agresi, atau kecemasan.” pungkasnya. (Dhany-Humas)

Share this :
Exit mobile version