Site icon Universitas Diponegoro

Mengajarkan Anak Berpuasa Menurut Pandangkan Psikolog Klinis RSND UNDIP

Puasa di bulan Ramadhan telah berlalu, puasa  adalah menahan diri dari makan dan minum untuk jangka waktu tertentu, atau berpantang mengonsumsi makanan maupun minuman tertentu. Tidak hanya puasa selama Ramadhan, ada beberapa jenis puasa yang juga dijalani, misalnya puasa senin dan kamis. Dalam aturan beberapa agama, anak-anak umumnya termasuk dalam golongan yang tidak diwajibkan untuk puasa, sama seperti ibu hamil dan orang yang bepergian jauh. Mengajarkan anak ikut berpuasa sejak dini memang baik, tapi orangtua mesti jeli apa saja yang harus diperhatikan agar puasa tetap berjalan aman bagi kondisi fisik dan psikisnya. Meski tidak mudah dalam mengajarkan anak berpuasa, namun melakukan stimulasi sejak dini penting dilakukan oleh orang tua untuk membentuk kebiasaan berpuasa yang menyenangkan.

“Anak-anak dapat dikenalkan dan diajarkan dengan kegiatan berpuasa  semenjak usia dini secara bertahap. Tentunya kita mengajarkan puasa pada anak bertujuan agar ketika anak telah wajib berpuasa, sudah terbiasa melakukannya.” ungkap Annisa Maimunah, M.Psi, Psikolog (Psikolog Klinis dengan minat keahlian Asesmen psikologis anak dan dewasa; Psikotes; Pengembangan Diri; Konseling dan Psikoterapi masalah kesehatan mental) Rumah Sakit Nasional Diponegoro Universitas Diponegoro.

“Berpuasa merupakan salah satu perilaku yang ingin dibentuk dari anak. Salah satu point penting dalam pembentukan perilaku adalah pemberian penguatan secara langsung. Jadi jika anak berhasil mencapai target yang kita sasar, kita harus langsung memberikan feedback berupa penguatan saat itu juga. Yang paling mudah adalah pujian. Misalnya mengatakan  ‘hebat ya sudah sampai  jam dua belas puasanya. Namun akan lebih bagus lagi jika sampai maghrib’ kata-kata tersebut akan menjadi motivasi” lanjutnya,

Annisa menyampaikan bahwa untuk melatih anak-anak berpuasa, orangtua harus lebih sabar. Dimulainya dari orang tua dahulu dengan  mencontohkan ke anak-anak. Kemudian jika sudah diberi contoh, baru melatih mereka sesuai dengan tahapan-tahapan usia. Tentunya dengan tidak memaksa, sehingga tidak membuat trauma.

“Kita juga harus menyiapkan anak menghadapi segala konsekuensi dari puasa. Hal ini agar anak-anak siap. Misalnya, puasa memang banyak senangnya tetapi juga ada yang tidak enaknya, seperti akan merasa lapar dan susah mengendalikan emosi. Sebaiknya anak diajarkan juga cara untuk menghadapinya. Di awal-awal usia anak, yang penting dilatih secara perlahan tanpa perlu penjelasan. Tetapi seiring perkembangan fungsi berpikirnya, orangtua bisa sambil menanamkan konsep-konsep berpuasa dan ibadah lainnya. Apa yang harus disiapkan dan dilakukan agar lebih mudah mengerjakannya” terangnya. (Lin-Humas)

Share this :
Exit mobile version