Site icon Universitas Diponegoro

Usulkan Keadilan Gender dari Pemenuhan Hak Konstitusional Perempuan di Indonesia, Dosen FH UNDIP Dikukuhkan Menjadi Guru Besar

Kesetaraan gender merupakan tujuan kelima dari Sustainable Development Goals (SDGs) yang menekankan pada kesetaraan posisi antara perempuan dan laki-laki melalui penghapusan kekerasan terhadap perempuan, meniadakan keterbatasan akses dan kesempatan perempuan guna menduduki posisi-posisi penting baik dalam organisasi publik maupun privat serta menghapuskan adanya kesenjangan indeks pembangunan manusia antara laki-laki dan perempuan.

“Kesetaraan gender ini hanya dapat dilakukan melalui pemenuhan hak konstitusional perempuan yang merupakan refleksi dari Pancasila sebagai staatsfundamentalnorm yang menghendaki adanya keadilan bagi semua masyarakat termasuk perempuan. Hak konstitusional perempuan ini terdiri dari empat puluh hak yang terbagi menjadi empat belas rumpun.” tutur Prof. Dr. Ani Purwanti, S.H., M.Hum. saat menyampaikan pidato ilmiah pada pengukuhannya menjadi Guru Besar, Rabu (28/09) di Gedung Prof. Soedarto, SH kampus Undip Tembalang.

Menurut Guru Besar dalam bidang Hukum dan Masyarakat pada Fakultas Hukum Universitas Diponegoro (FH Undip) ini, implementasi dari pemenuhan hak konstitusional perempuan dilihat dari data dan fakta di masyarakat masih belum optimal, hal ini terlihat dari 5 indikator utama, yaitu perempuan Indonesia masih mengalami ketimpangan gender berupa subordinasi, marginalisasi, beban kerja yang berlebihan/over burden, stereotype serta diskriminasi dan tindak kekerasan.

Indonesia sebagai negara kesejahteraan (welfare state) yang menjunjung tinggi pemenuhan hak asasi manusia dan telah meratifikasi Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Woman, melalui Undang Undang No 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan. “Indonesia diharuskan mengambil langkah-langkah konkrit guna mengatasi ketimpangan gender sehingga kesetaraan gender disemua aspek secara di semua aspek kehidupan secara berkelanjutan termasuk mewujudkan tujuan kelima dari SDGs yaitu Gender Equality.” jelas Prof. Ani.

Dalam pidato ilmiahnya yang berjudul “Pancasila dan Keadilan Gender: Refleksi dari Pemenuhan Hak Konstitusional Perempuan di Indonesia”, Prof Ani menjelaskan bahwa kesetaraan dan ketimpangan gender dapat dianalisis dengan menggunakan Teori Sistem Hukum dan Teori Hukum Feminis, yang menyatakan bahwa hukum memiliki tiga unsur yakni Substansi, Struktur dan Kultur dan upaya yang dilakukan dapat menggunakan beberapa Teori Feminis (Liberal, Radikal, Kultural).

Dari sisi substansi, banyak Peraturan Perundangan-undangan dan berbagai kebijakan di Indonesia yang sudah menekankan kesetaraan dan mengatasi ketimpangan gender termasuk lahirnya UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual, akan tetapi masih terdapat beberapa kebijakan yang diskriminatif terhadap perempuan, selain itu belum banyak Perguruan Tinggi yang menerbitkan Peraturan yang merupakan implementasi dari Permendikbud Ristek tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi.

Dari sisi struktur, setidaknya sudah ada Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dan Komisi Nasional HAM Perempuan, akan tetapi dari data KomNas perempuan terdapat ketidakseimbangan antara beban kerja dan jumlah pegawai yang menangani pengaduan kekerasan terhadap perempuan. Berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender, maka semua Kementerian/Lembaga/Angkatan Bersenjata diwajibkan untuk mengarusutamakan Gender dalam pembuatan kebijakan, perencanaan program termasuk dalam Anggaran dan Evaluasi.

Ditinjau dari sisi budaya hukum, terdapat budaya patriarki yang masih berkelindan baik dalam pikiran maupun tindakan tokoh masyarakat, pengambil kebijakan, masyarakat termasuk perempuan sendiri. “Feminist legal theory menekankan bahwa teks hukum yang bias gender dan diskriminatif terhadap perempuan harus direvisi dan wujud kongkrit dari kebijakan teori hukum Feminis yaitu revisi UU Perkawinan 16 Tahun 2019, Affirmative perempuan di lembaga politik dan pembuat kebijakan pada UU Partai Politik.” ungkapnya.

Selanjutnya Peraturan Mahkamah Agung No 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan yang berhadapan Hukum, Peraturan MA Nomor Tahun 5 Tahun 2019 tentang Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi Kawin, Permendikbud Dikti Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi, kebijakan kereta khusus perempuan di Jakarta.

“Upaya ini juga akan sejalan dengan Hukum Progresif yang menghendaki terciptanya keadilan substantive, tidak hanya keadilan prosedural khususnya untuk perempuan.” pungkas Prof. Ani.

Share this :
Exit mobile version