Universitas Diponegoro dan BWI (Badan Wakaf Indonesia) menggelar seminar nasional dalam acara Wakaf Goes to Campus (WGTC) ke-12 dengan tema Penguatan Literasi Wakaf Produktif Generasi Milenial, Selasa (20/12) di Gedung Gedung Prof. Soedarto S.H., kampus Undip Tembalang.

Topik bahasan seminar nasional tersebut antara lain Inkubator Nazhir Wakaf Produktif oleh Dr. Tarmizi Tohor, M.A., Direktur Pemberdayaan Zakat dan Wakaf Kemenag RI, Regulasi Wakaf Produktif dan Tantangan Pembiayaannya oleh Dr. Tatang Astarudin, S.Ag., S.H., M.Si., Badan Wakaf Indonesia, Optimalisasi Penghimpunan Wakaf melalui LKSPWU oleh Muhammad Syukron Habiby, SVP Islamic Ecosystem Solution Group PT Bank Syariah Indonesia, dan Succes Story Nazhir oleh Ir. H. Khammad Maksum, Ketua Yayasan Badan Pengelola Masjid Agung Semarang.

Dalam materinya Dr. Tatang menyampaikan Wakaf adalah “jejak” peradaban manusia. Wakaf atau konsepsi lain semisal wakaf, pada praktiknya sudah ada bersamaan dengan munculnya peradaban manusia; Wakaf adalah “alat baca” peradaban. Pada berbagai peradaban manusia yang sudah memiliki aturan dan tatanan kehidupan bermasyarakat, hampir pasti ditemukan berbagai peninggalan berupa bangunan gedung, tempat ibadah, atau jejak “artefak” lainnya yang dimanfaatkan bersama oleh anggota masyarakat.

“Konsepsi Komunalistik Religius, memungkinkan penguasaan tanah secara individual, dengan hak-hak atas tanah secara pribadi, tanpa mengurangi semangat kebersamaan, dengan tetap menghargai dan mengakui hak-hak atas berdasarkan Hukum Adat dan Hukum Agama” tuturnya.

Sementara dalam bahasannya  Ir. H. Khammad Maksum menjelaskan mengenai selayang pandang Masjid Agung Semarang dan unit-unit usahanya. Ia mengatakan pertengahan abad XVI Masehi, atas perintah Sunan Kalijaga, seorang ulama dari Persia yang bernama Maulana Ibnu Abdul Salam bersama putranya yang bernama Pangeran Made Pandan menyiarkan agama Islam dan sekaligus mengemban tugas memperluas pengaruh kekuasaan Kerajaan Demak. Mereka berdua membuka hutan membangun sebuah padepokan di bukit Pragoto yang dijadikan tempat ibadah dan mengajar agama Islam. Lambat laun berkembang menjadi masjid dan sekaligus dijadikan sebagai Kademangan dari Kerajaan Demak di Semarang. Inilah yang menjadi cikal bakal berdirinya Masjid Semarang.

Dilatarbelakangi instruksi Presiden Soeharto di sekitar tahun 1990-an tentang pembentukan Perpustakaan Masjid, maka Departeman Agama Republik Indonesia (kini Kementerian Agama) menindaklanjutinya dengan membuat ketentuan tentang sebutan dan klasifikasi Masjid. Yaitu: Masjid Negara (tingkat Nasional), Masjid Raya (tingkat Pronvinsi), Masjid Agung (tingkat Kota/ Kabupaten), Masjid Besar (tingkat Kecamatan), dan Masjid Jami’ (tingkat Kelurahan/ Desa).

“Karena Masjid Besar Semarang masuk dalam klasifikasi di tingkat Kota Semarang maka diubahlah namanya menjadi Masjid Agung Semarang. Peresmian Tahap I Wakaf Produktif BKM Kota Semarang oleh Menteri Agama RI, Bapak H. Muhammad Maftuh Basyuni, S.H., pada tanggal 6 September 2007 M atau bertepatan tanggal 24 Sya’ban 1428 H” ungkap H. Khammad Maksum. (Lin-Humas)

Share this :