“Perluasan kewenangan daerah dalam konteks desentralisasi meliputi juga pembangunan sektor industri. Namun selama dua dekade pelaksanaan desentralisasi linkage yang diharapkan antara sektor publik daerah dengan industri tidak terlihat. Belanja daerah tidak terlalu berdampak terhadap peningkatan investasi yang menjadikan kurang optimalnya industrialisasi di daerah” tutur Bangkit Aditya Wiryawan, S.Sos., M.A., Ph.D. dosen Departemen Politik dan Ilmu Pemerintahan di bidang Kebijakan Publik dan Urusan Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Diponegoro.

Dalam makalahnya mengenai Dinamika Kebijakan Desentralisasi dan Dampaknya Terhadap Produktivitas Sektor Industri, menyorot bagaimana tatanan kelembagaan atau yang oleh Douglas North (1991) disebut sebagai “aturan main” atau peraturan yang hadir dalam bentuk kebijakan-kebijakan pemerintah, mempengaruhi dinamika industrialisasi Indonesia di era desentralisasi. Kebijakan desentralisasi merupakan salah satu amanat reformasi yang diterapkan untuk memberikan keleluasaan yang  lebih tinggi bagi pemerintah daerah dalam menentukan arah pembangunan sesuai dengan karakteristik dan sumber dayanya.

Sulitnya melakukan revitalisasi industri di era desentralisasi menyebabkan diambilnya kebijakan drastis oleh pemerintahan pusat. Salah satu langkah cepat diambil oleh Pemerintahan Joko Widodo adalah melalui upaya sentralisasi pengelolaan KPB Batam yang pernah menjadi motor industrialiasi di kawasan Sumatera pada tahun 1990-an. Hal ini dilakukan dengan penerbitan Perpres no. 8 tahun 2016. Namun demikian kebijakan ini justru memperkuat kembali dualisme kelembagaan di Kota Batam. Terhadap situasi yang kurang kondusif untuk revitalisasi sektor industri ini, pemerintah pusat mengambil kebijakan berupa sentralisasi pengelolaan KPB Batam dengan menempatkan kawasan khusus di bawah Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian.

Hal Namun ternyata hal tersebut kemudian berdampak terhadap menurunnya produktivitas perusahaan yang beroperasi di pulau tersebut hingga 18-27% lebih rendah. Dampak ini terutama sangat besar pada perusahaan-perusahaan yang beraktivitas di luar kawasan industri disebabkan mereka harus berhadapan langsung dengan perubahan kebijakan yang dimaksud.

“Sementara itu perusahaan yang berada di dalam kawasan industri relatif imun terhadap perubahan-perubahan kelembagaan tersebut. Hal ini kemungkinan disebabkan karena perubahan kebijakan ditangani terlebih dahulu oleh manajemen kawasan industri dan tidak secara langsung ke perusahaan” pungkasnya. (Lin/Joshua-Humas)

Share this :