Bermigrasi adalah hak dasar bagi setiap manusia. Migrasi karena pekerjaan merupakan situasi yang paling umum. Banyak pekerja Indonesia yang bekerja di luar negeri dan banyak pula yang mengalami permasalahan. Fokus penelitian ini adalah bagaimana bentuk ideal pelindungan hukum berbasis hak asasi manusia bagi Pekerja Migran Indonesia (PMI) dan anggota keluarganya.

“Penelitian ini dipandu dengan paradigma post-positivism yang didasarkan pada tiga pertanyaan dasar yaitu ontologi, epistimologi, dan metodologi. Metode penelitiannya menggunakan jenis kualitatif dengan mengumpulkan data secara triangulasi yang diperoleh dari berbagai sumber dan berbagai teknik pengumpulan data secara simultan,” ungkap Dr. Elfia Farida, S.H, M.Hum., Dosen Fakultas Hukum Universitas Diponegoro.

Lebih lanjut ia mengatakan bahwa pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan socio legal research yang menggabungkan kajian hukum doktrinal dengan kajian sosial untuk menemukan aturan-aturan yang berkaitan dengan pelindungan PMI, selanjutnya melakukan penelitian sosial untuk menemukan akurasi dan kebenarannya. Hasilnya menunjukkan bahwa pelindungan hukum hak-hak PMI dan anggota keluarganya telah mengalami dinamika ke arah pengakuan PMI sebagai subjek hukum yang diwujudkan melalui konvensi ILO, ICMW, ASEAN Consensus, maupun UU PPMI.

“Mereka harus dilindungi oleh hukum demi harkat dan martabatnya sebagai manusia tanpa pembedaan apapun. Hukum harus memiliki makna dan mengandung nilai-nilai untuk mewujudkan keadilan dan kemanusiaan. Bentuk ideal pelindungan hukum secara internal adalah pembuatan peraturan desa, sedangkan secara eksternal membuat perjanjian bilateral dengan negara penerima PMI dan negara transit. Dengan demikian di dalam Pasal 42 UU PPMI dan Pasal  78 PP No. 59 Tahun 2021 perlu ditambahkan klausula “Pemerintah Desa memiliki tugas dan tanggung jawab untuk membuat peraturan desa tentang pelindungan PMI dan anggota keluarganya” dan menambah pasal baru tentang pelindungan di negara transit. Selain itu juga perlu membuat perjanjian bilateral sebagai instrumen payung dan MoU sebagai instrumen turunannya” pangkasnya. (Lin/Arbi-Humas)

Share this :