Universitas Diponegoro

Tiga Pakar UNDIP Dikukuhkan Sebagai Guru Besar oleh Rektor Undip

Universitas Diponegoro secara maraton menggelar upacara pengukuhan guru besar dalam rentang waktu mulai tanggal 5 sampai dengan19 September 2023 untuk 25 (dua puluh lima) guru besar. Menyusul agenda berikutnya pengukuhan untuk 17 (tujuh belas) guru besar baru Undip. Terhitung sebanyak 42 (empat puluh dua) Guru Besar siap dikukuhkan. Diawali dengan pengukuhan 3 (tiga) guru besar Undip pada Selasa (5/9) di Gedung Prof. Soedarto, SH. Kampus Undip Tembalang. Ketiga Guru Besar yang dikukuhkan pada tahap pertama sesi pagi adalah Prof. Dr. Ir. Suzanna Ratih Sari, M.M., M.A. (Fakultas Teknik); Prof. Bulan Prabawani, S.Sos., M.M., Ph.D. (Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik); dan Prof. Jati Utomo Dwi Hatmoko, S.T., M.M., M.Sc., Ph.D. (Fakultas Teknik).

Dalam sambutannya, Rektor Universitas Diponegoro, Prof. Dr. Yos Johan Utama, S.H., M.Hum. menuturkan menjadi guru besar memikul tanggung jawab akademik yang besar, tidak hanya di bidang akademik tetapi juga di bidang non akademik. Di bidang akademik seorang guru besar harus mampu mengembangkan ilmu pengetahuannya menjadi ilmu yang bermanfaat tidak hanya untuk umat manusia tetapi juga bagi alam semesta. Sebagai guru besar juga wajib untuk menemukan inovasi-inovasi yang selalu terbarukan agar ilmu pengetahuan selalu berkembang dan selalu adaptif terhadap perkembangan jaman.

“Di Bidang non akademik, seorang Guru Besar menjadi role model dan sosoknya harus bisa menjadi uswatun hasanah, teladan dalam kebaikan. Peran role model ini diantaranya adalah keberanian menyatakan yang benar itu benar dan yang salah itu salah sesuai ilmu yang diyakininya, jangan kita masuk menjadi golongan orang-orang yang munafik, yakni meyakini kebenaran suatu ilmu tetapi dalam praktek menyangkalnya demi sekadar hal yang fana di dunia ini,” ungkapnya.

Pada pidato ilmiahnya, Prof. Suzanna membahas mengenai isu permasalahan yang sering dihadapi oleh desa wisata yaitu kecenderungan desa wisata yang tercipta tidak dapat berlangsung lama. Beberapa alasan diantaranya disebabkan karena masyarakat kurang peka akan potensi wisata di desanya serta konsep perencanaan desa wisata yang tidak matang.

“Konsep arsitektur eko-humanis didasarkan dari kajian konsep ekowisata dan konsep arsitektur humanis. Konsep ini dapat membuka wawasan masyarakat untuk dapat menciptakan desa wisata yang mengakomodasi wisatawan dari berbagai kelompok masyarakat, termasuk difabel tanpa menghilangkan originalitas desa dan sebagai upaya untuk melestarikan lingkungan yang ada,” terangnya.

Sementara Prof. Bulan membawakan karya ilmiah berjudul “Kewirausahaan Agroforestri sebagai Alternatif Bisnis Berkelanjutan”. Ia mengungkapkan kegiatan bisnis adalah memproduksi barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan manusia. menciptakan lapangan kerja, lapangan pengusaha dan pertumbuhan ekonomi regional, dan nasional.

“Di sisi lain, aktivitas bisnis menimbulkan dampak lingkungan dan sosial dalam bentuk pencemaran air, udara, tumpukan sampah, dan debu yang pada gilirannya berdampak pada kesehatan masyarakat,” lanjutnya.

Sedangkan Prof. Jati Utomo dalam pidatonya dengan tema “Pengelola Risiko Konstruksi Melalui Transformasi Digital” mengatakan dunia konstruksi sudah dikenal seiring sejarah peradaban manusia sejak ribuan tahun yang lalu. Namun secara umum industri konstruksi masih tertinggal dari industri lainnya, seperti manufaktur atau otomotif.

“Industri konstruksi dikenal mempunyai kompleksitas dan risiko yang tinggi, dan hingga kini secara global masih didera berbagai permasalahan klasik yang menghambat efisiensi proses konstruksi, antara lain, keterlambatan penyelesaian proyek (delay), pembengkakan biaya (cost overrun), kualitas pengerjaan rendah, tingkat keselamatan rendah, dan lain-lain,” pungkas Prof Jati. (LW/Diyah-Humas)

Share this :
Exit mobile version