,

Mudik dan Kearifan Budaya Kita

Media sosial terkini sedang diramaikan terkait kata peristiwa ‘mudik’ Lebaran 2024. Jika kita membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kita akan menemukan kata ‘mudik’. ‘Mudik’ adalah kata kerja. Arti pertama adalah kembali ke udik atau hulu sungai. Selanjutnya, arti kedua merujuk ke ”pulang kampung’ dan merupakan kata kerja cakapan atau bukan bahasa baku. KBBI menyamakan ‘mudik’ dengan ‘pulang kampung’.

Setiap tahun masyarakat Indonesia kerap menemukan dan menggunakan ungkapan mudik Lebaran; sebuah istilah yang merujuk pada tradisi dan identitas sosial masyarakat. Mudik bisa dikatakan perjalanan orang-orang yang mengadu peruntungan di kota untuk kembali ke kampung asalnya. Tradisi tahunan ini adalah sebuah fenomena sosial yang mencerminkan lapisan budaya, nilai, serta identitas kolektif yang terbentuk dalam masyarakat. Dalam perspektif budaya, mudik Lebaran dipahami sebagai manifestasi dari konsep khas dan bisa kita maknai sebagai ruang budaya masyarakat Indonesia. Perayaan Lebaran merupakan ritual keagamaan sekaligus menjadi sebuah peristiwa budaya yang sangat dinantikan, dihormati, dan mengandung signifikansi budaya dalam realitas kehidupan sosial masyarakat di Indonesia.

Sebagai peristiwa budaya, mudik adalah konstruksi ritual dan tradisi dalam membentuk identitas kolektif masyarakat pendukungnya. Perjalanan panjang dan heroik para pemudik dari berbagai kota untuk pulang ke kampung halaman tentu saja melampaui dari sekadar praktik perpindahan fisik dan keberadaan tempat di mana mereka berada. Peristiwa budaya tersebut menjadi layaknya sebuah ritual dramatik romantis yang memperkuat ikatan emosional dan sosial antarpemudik dengan keluarga di kampung halamannya.

Peristiwa budaya tersebut menjadi gambaran kompleksitas struktur sosial dalam masyarakat Indonesia. Orang-orang dari beragam lapisan sosial dan ekonomi berbaur dalam pengalaman yang sama, identitas budaya, dan solidaritas budaya yang mereka bangun dan mereka rindukan. Perjuangan dan lelahnya perjalanan serasa begitu saja hilang ketika mereka telah tiba di kampung halaman. Untuk sampai ke kampung halaman, para pemudik juga menggunakan berbagai macam alat transportasi sesuai kemampuan dan kebutuhan, dari sepeda motor, mobil pribadi, angkutan umum (mobil, bis, kereta api, dan kapal) hingga pesawat terbang.

Dalam The Interpretation of Cultures (1973), Clifford Geertz menjelaskan makna simbolik dalam praktik budaya. Geertz menekankan pentingnya memahami praktik budaya dalam konteks lokal. Terkait fenomena mudik Lebaran ini, pemikiran Geertz tentang makna simbolik dalam praktik budaya dapat memberikan wawasan yang dalam. Ia menyoroti praktik budaya pada hakikatnya tidak sekadar tindakan fisik semata, tetapi juga membawa makna yang kaya dan kompleks bagi individu dan masyarakat di mana praktik budaya tersebut berlangsung. Para pemudik tentu saja tidak hanya melakukan perjalanan fisik dari satu tempat ke tempat lain, tetapi merupakan sebuah ritual yang sarat dengan makna sosial dan budaya.

Dalam peristiwa budaya tersebut, kita sangat penting untuk memahami makna simbolik di balik tindakan-tindakan seperti bersilaturahmi, bermaaf-maafan, dan merayakan perayaan Idul Fitri di kampung halaman. Selanjutnya, Geertz juga menekankan konteks lokal dalam memahami praktik budaya. Hal ini berarti penting bagi kita untuk memahami bagaimana tradisi tersebut dijalankan secara khas di berbagai daerah di Indonesia.

Dengan memahami perspektif Geertz tentang makna simbolik dan konteks lokal dalam praktik budaya, kita dapat melihat bagaimana orang-orang mudik tidak hanya terkait dengan kebutuhan fisik atau praktis semata. Lebaran mengandung makna sosial, budaya, dan spiritual yang dalam bagi masyarakat Indonesia. Para pemudik rindu akan salat Idul Fitri  di desa tempat mereka tumbuh, bersalam-salaman, berziarah, dan menikmati ketupat dan opor, dan beromantisme dengan kenangan tempo dulu.

Orang Jawa juga mengenal istilah tetirah. Istilah Jawa tersebut telah masuk sebagai salah satu kata KBBI. Tetirah adalah salah satu konsep kearifan lokal (local genius) sebagai pencermin identitas budaya masyarakat Jawa. Tetirah memiliki arti dalam kelas kata kerja (verba) sehingga menyatakan suatu tindakan, keberadaan, pengalaman, atau pengertian yang dinamis lainnya. Orang Jawa yang bekerja dan hidup di kota tetap memiliki hubungan dengan desa asal mereka, tetapi tidak bisa pulang setiap waktu. Bagi mereka, desa laksana “pintu imajinatif” yang tidak begitu saja mudah buka-tutup setiap waktu. Pintu imajinatif tersebut memiliki jadwal kapan orang kota bisa memasukinya dan disambut seperti keluarga kehormatan, seperti momen Idul Fitri, nyadran, atau sedekah desa. Bagi orang kota, mudik Idul Fitri juga sering dijadikan saat untuk tetirah yang singkat. Orang Jawa memaknai Lebaran sebagai momentum “kembali ke titik nol.”

Dr. Sukarjo Waluyo, S.S., M.Hum. (Ketua Departemen Susastra, FIB UNDIP)

Share this :

Kategori

Arsip

Berita Terkait