,

Mudik dan Imajinasi Keseimbangan Orang Rantau

Mudik bisa dikatakan perjalanan orang-orang yang mengadu peruntungan di kota untuk kembali ke kampung asalnya. Tradisi tahunan ini adalah sebuah fenomena sosial yang mencerminkan lapisan budaya, nilai, serta identitas kolektif yang terbentuk dalam masyarakat. Dalam perspektif budaya, mudik Lebaran dipahami sebagai manifestasi dari konsep khas dan bisa kita maknai sebagai ruang budaya masyarakat Indonesia. Perayaan Lebaran merupakan ritual keagamaan sekaligus menjadi sebuah peristiwa budaya yang sangat dinantikan, dihormati, dan mengandung signifikansi budaya dalam realitas kehidupan sosial masyarakat di Indonesia.

Manusia acapkali disebut sebagai makhluk homo festivus, artinya makhuk yang senang menginisiasi dan mengkreasi bermacam-macam festival atau perayaan. Satu di antaranya adalah festival yang bernuansa kegamaan, seperti perayaan di sekekitar bulan Ramadhan dan Hari Lebaran. Di dalamnya terdapat motif dan pola yang relatif serupa dan berulang secara massif. Selain itu, manusia memiliki sifat sebagai makluk pengembara atau pengelana (suka berziarah). Manusia adalah makhuk yang gemar melakukan peristiwa perjalanan, di antaranya untuk sekadar jalan-jalan menikmatati panorama atau juga rekreasi. Saat menjelang Hari Lebaran, masyarakat secara bersama-sama tentu akan merasa perlu merayakan hari raya. Jalan-jalan akan menjadi ramai dengan  beragam jenis kendaraan dibandingkan dengan hari biasanya.

Pada saat yang sama, kita serasa disadarkan kembali tentang hubungan desa-kota yang pada masa lalu banyak terdapat ketimpangan. Meski setelah era reformasi, hal ini sudah mengalami peubahan signifikan dengan pembangunan daerah yang mendapatkan perhatian dan pendanaan yang jauh lebih baik hingga ke pelosok desa. Pada masa lalu, faktor ekonomilah yang banyak memengaruhi seseorang berpindah ke kota. Penghidupan di desa yang dirasa kurang mencukupi, semakin sempitnya lahan pertanian, dan semakin sedikitnya pemuda yang ingin bertani membuat kota menjadi daya tarik sendiri bagi penduduk di desa. Pesatnya kemajuan ekonomi dan industrialisasi telah membutuhkan dan menyerap lebih banyak tenaga kerja yang sebagian besar juga didatangkan dari desa. Hal inilah yang menarik banyak orang desa untuk berurbanisasi ke kota.

Manusia Kota, Manusia Pekerja

Manusia kota cenderung sibuk dan berfokus terhadap pekerjaan-pekerjaan mereka. Industrialisasi, materialisme, hedonisme, dan konsumerisme pada saat yang sama telah memupuk watak individualisme. Beberapa hal tersebut telah menguatkan persepsi bahwa kota acapkali diidentikkan sebagai tempat yang penuh dengan suasana yang sebenarnya sangat kering secara ‘kejiwaan’. Hal-hal yang bernuansa spiritual dan rohaniah pada akhirnya menjadi hal yang sangat dirindukan. Mudik Lebaran, dengan demikian, bisa menjadi semacam obat bagi kekeringan jiwa orang kota untuk kembali menengok desa dan kedamaian alamnya. Mudik memberikan banyak manfaat positif selain juga untuk tujuan silaturahmi dan merayakan Lebaran.

Dalam perkembangannya, mudik mengalami pergeseran tidak hanya sebagai cara untuk kepentingan jiwa, tetapi juga sebagai sarana rekreasi dan memenuhi kebutuhan akan hiburan. Perayaan mudik Lebaran selanjutnya banyak didiskusikan terkait dengan pergerakan ekonomi di daerah. Dalam waktu sesaat, ada aliran uang dari kota ke daerah atau desa-desa. Mudik dalam konteks ekonomi menunjukkan adanya perputaran uang yang tidak sedikit.

Agus Maladi Irianto dalam artikel “Mudik dan Keretakan Budaya” dalam Jurnal Humanika (Vol 15, No 9: Juni 2012) mengungkapkan bahwa terkait fenomena mudik Lebaran dapat disimpulkan sebagai berikut. Pertama, fenomena mudik di Indonesia telah menjadi tradisi dianggap sebagai gerakan paling efektif menyalurkan dana ke daerah. Kedua, tradisi mudik terjadi akibat migrasi dari desa ke kota yang kemudian berkembang menjadi urbanisasi yang tak terkendali.

Ketiga, tradisi mudik memuat dimensi spiritual, psikologis, dan sosial yang harus disikapi mengimplikasikan suatu heteronomi kultural. Para pemudik berada pada sisi tarik-menarik antara situasi dan nilai-nilai baru dengan yang lama. Keempat, tradisi mudik menggambarkan masih kuatnya ikatan primordial masyarakat di perkotaan, padahal nilai-nilai di perkotaan seharusnya lebih berwatak mondial.

Sebagai peristiwa budaya, mudik adalah konstruksi ritual dan tradisi dalam membentuk identitas kolektif masyarakat pendukungnya. Perjalanan panjang dan heroik para pemudik dari berbagai kota untuk pulang ke kampung halaman tentu saja melampaui dari sekadar praktik perpindahan fisik dan keberadaan tempat di mana mereka berada. Orang Jawa juga mengenal istilah tetirah. Tetirah adalah salah satu konsep kearifan lokal (local genius) sebagai pencermin identitas budaya masyarakat Jawa. Orang Jawa yang bekerja dan hidup di kota tetap memiliki hubungan dengan desa asal mereka, tetapi tidak bisa pulang setiap waktu. Bagi mereka, desa laksana “pintu imajinatif” yang memiliki jadwal kapan orang kota bisa memasukinya, seperti momen Idul Fitri, nyadran, atau sedekah desa. Bagi orang kota, mudik Idul Fitri juga sering dijadikan saat untuk tetirah singkat dan momentum “kembali ke titik nol.”

Tidaklah aneh jika mudik sesungguhnya bisa dimaknai juga sebagai imajinasi keseimbangan orang rantau dalam menjalani permasalahan kehidupannya di kota yang selalu disibukkan dengan rutinitas, target, dan kesibukan akan pekerjaannya.

Dr. Sukarjo Waluyo, S.S., M.Hum. (Ketua Departemen Susastra, FIB UNDIP)

Share this :

Kategori

Arsip

Berita Terkait