SEMARANG — Rektor Universitas Diponegoro (UNDIP) Prof Dr Yos Johan Utama SH MHum,  mengharapkan Undip dapat membuat kajian yang komprehensif mengenai banjir yang mencakup aspek hukum, sosial, ekonomi dan lainnya sebagai kontribusi bagi pemecahan masalah lingkungan yang dihadapi bangsa ini. Harapan ini disampaikannya pada Webinar “Dibalik Bencana Banjir” yang diselenggarakan oleh Dewan Profesor dan Program Studi Magister Ilmu Lingkungan Undip, Rabu (3/3/2021).

Kajianyang diharapkan dapat dipimpin oleh Dewan Profesor, termasuk didalamnya menguji beragam regulasi yang ada apakah sudah mengatur pengelolaan dan penanganan banjir secara optimal. “Bagaimana IMB (Izin Mendirikan Bangunan-Red) diberikan, kepatuhan peruntukan lahan berdasar zonasi, apakah  masih memungkinkan memberi izin bangunan besar di daerah pantai, pengkajian daya dukung lingkungan betul-betul harus dilakukan secara seksama,” ujar Prof Yos Johan.

Dia juga membuka peluang untuk memberikan penghargaan kepada kepala daerah yang melakukan pengedalian dan pengelolaan banjir secara baik. Untuk pemberian penghargaan,  indikatornya harus  disusun secara hati-hati. Rektor yang menghabiskan masa kecilnya di Semarang juga mengatakan seingatnya banjir di dahulu tidak separah sekarang. “Makin lama banjir makin sering bahkan mulai terjadi di daerah yang cukup tinggi seperti Tembalang. Karena itu Undip perlu melakukan kajian komprehensif secara mendalam,” tambahnya.

Ketua Dewan Profesor Undip, Prof Dr Ir Purwanto DEA, mengatakan dampak banjir yang begitu besar diantaranya berupa  kerugian ekonomi, dampak sosial, transportasi menjadi salah satu alasan Dewan Profesor menyelenggarakan webinar yang menghadirkan pakar terkait banjir yang ada di Kampus Diponegoro. Tujuannya agar dapat berkontribusi secara konstruktif  menyampaikan solusi mengatasi masalah banjir dari aspek sosial, teknis, ekonomi dan lainnya.

Menurut Prof Purwanto, hasil dari webinar akan dirangkum dalam policy brief untuk para pemangku kepentingan agar selanjutnya dapat dikaji secara mendalam. “Mengatasi banjir tidak saja perlu dilakukan saat masalah terjadi tapi juga dilakukan luar saat kejadian sehingga hujan yang sebenaranya merupakan rahmat tidak dianggap sebagai bencana. Hujan sebagai rahmat harus kembali menjadi rahmat,” kata Purwanto.

Guru Besar Manajemen Lingkungan Undip, Prof Sudharto P. Hadi MES PhD, dalam paparannya mengatakan banjir adalah bencana yaitu peristiwa yang tidak diharapkan yang dapat terjadi   secara tiba-tiba maupun  melalui proses yang berlangsung secara  perlahan dapat disebabkan oleh alam atau ulah manusia dan menyebabkan kerusakan harta benda,   lingkungan dan hilangnya jiwa manusia. Terkait bencana yang berhubungan dengan air, Indonesia mengalami beberapa hal yaitu too much (kelebihan air) menyebabkan terjadinya banjir, too little (kekurangan) saat kemarau menyebabkan masalah dalam penyediaan air baku dan irigasi serta too dirty yang disebabkan pencemaran, sedimentasi dan pelumpuran.

Prof Sudharto juga mengingatkan bahwa banjir sering menjadi panggung politik dimana banyak yang mmberikan pendapat saat banjir datang tetapi biasanya pembahasannya ikut surut bersama surutnya banjir. Padahal setiap tahun bencana banjir makin besar intensitas maupun luasan. “Saat ini pola penanggulangan banjir yang berkembang masih lebih banyak bersifat reaktif yaitu melalui normalisasi, pengerukan, pelebaran sungai, polder, penambahan kapasitas pompa,” ujar mantan Rektor Undip ini.

Sudharto mengingatkan respon reaktif penting tapi tidak cukup. Perlu dilengkapi dengan yang bersifat proaktif misalnya melalui upaya menambah kapasitas resapan air, evaluasi daya dukung dan daya tampung lingkungan, apabila dalam suatu wilayah sudah terlampaui maka tidak diperbolehkan lagi untuk menambah usaha di daerah tersebut dengan demikian penataan ulang tata ruang dan semuanya harus berbasiskan pendekatan eco-region.

Pada kesempatan itu dia mengajak seluruh peserta untuk mengingat pesan yang pernah disampaikan Cokroaminoto mengenai pentingnya belajar dan hijrah. Dalam konteks hijrah saat itu adalah apabila ingin terbebas dari penjajahan maka dapat keluar dari nrimo dan berani menentang penjajah. Pada konteks banjir hijrah harus dilakukan dengan mengubah pembangunan yang eksklusif ekonomi ke arah pembangunan rendah karbon dan mensinergikan aspek ekonomi dengan lingkungan dan sosial. “Juga hijrah dari respon reaktif ke proaktif, hijrah dari pengelolaan berbasis wilayah administratif menjadi eco-region, sehingga tumbuh rasa kepemilikan wilayah lingkungan bersama,” ungkap dia.

Adapun sorotan dari aspek teksnis yang dilakukan Guru Besar Fakultas Teknik Undip, Prof Suripin, melihat perlunya penerapan prinsip zero delta Q policy terhadap setiap kegiatan budi daya terbangun yang diajukan izinnya sesuai dengan Pasal 99 ayat (3) huruf c PP. No. 13 tahun 2017 tentang Perubahan PP. No. 26 tahun 2008 tentang RTRWN. Cara paling efektif, berkelanjutan, dan ramah lingkungan untuk meminimalkan banjir adalah dengan menjamin fungsi Daerah Aliran Sungai (DAS) sebagai penampung dan penyimpan air hujan tidak berkurang atau hilang akibat perubahan penutupan lahan. Menghilangkan fungsi penampungan dan penyimpanan air hujan yang hilang karena penutupan, harus diganti secara artifisial.  Dengan demikian pembangunan dapat diarahkan ke pendekatan low impact development.

Suripin mengingatkan pentingnya menerapkan pemakaian paving block pada praktek sehari-hari. Paving block sangat penting digunakan di lahan parkir, trotoar, taman, akan tetapi jenis dan konstruksi harus dipilih yang bisa menyerap air. Konstruksinya harus mampu menyimpan dan menampung air hujan, bagian bawahnya harus berupa material dengan porositas tinggi seperti kricak bukan tanah asli dipadatkan dan ditutup dengan pasir dan paving block.

Median jalan dan taman juga harus dibuat tidak lebih tinggi dari jalan karena air dari jalan tidak dapat masuk ke median yang biasanya difungsikan sebagai taman. “Malah air dari median jalan dapat menggenangi jalan.,” ujarnya mengingatkan

Kepala Dinas Pekerjaan Umum Sumber Daya Air dan Penataan Ruang Provinsi Jawa Tengah, Eko Yunianto, membagi isu strategis pengelolaan sumber daya air di Jawa Tengah menjadi tiga kelompok yaitu  1) aspek konservasi sumber daya air berkurangnya tutupan lahan di hulu Daerah AIiran Sungai – DAS, menurunnya kualitas air akibat pencemaran limbah domestik dan industr), 2) aspek pendayagunaan sumber daya air (penyediaan air untuk irigasi dan air baku, penurunan fungsi jaringan sungai dan kekeringan), 3 aspek pengendalian daya rusak air (banjir, penambangan galian mineral non logam tanpa izin di wilayah sungai, abrasi pantai, erosi dan sedimentasi).

Disampaikan pula bahwa selama Oktober 2020 sampai 1 Maret 2021 terjadi 255 kejadian banjir di Jawa Tengah. Paling banyak terjadi pada Februari 2021 yaitu sebanyak 79 kejadian. Disinggung pula mengenai land subsidence yang terjadi dimana menurut LAPAN hasil perhitungan laju rata-rata land subsidence secara vertikal di Semarang selama 2015-2020 bervariasi antara 0,9 – 6 cm per tahun, di Pekalongan 2,1 – 11 cm per tahun sementara kenaikan air laut terjadi rata-rata 4 mm per tahun. Dua hal ini adalah faktor penambah risiko banjir di Pantura Pulau Jawa.

Dalam menghadapi banjir pemerintah membagi tanggapannya ke dalam tiga kategori yaitu pra musim hujan, saat kejadian dan pasca. Pra dilakukan secara berjenjang mulai tingkat provinsi sampai posko-posko di lapangan, sistem peringatan dini, penyiapan alat berat, pada saat kejadian keterlibatan semua pihak sangat diharapkan sedangkan pada tahap pasca yang dilakukan adalah upaya pemulihan, rehabilitasi dan peningkatan kapasitas.

Share this :