SEMARANG – Pakar genetika medik dari Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro (UNDIP), Prof Dr Sultana MH Faradz PhD, mendesak adanya standar manajemen penanganan gangguan perkembangan seksual secara nasional. Karena gangguan tersebut membutuhkan penanganan komprehensif dan multidisiplin.

“Penanganan sejak dini akan meningkat kualitas hidup pendertia,” kata Prof Sultana pada Diskusi Publik Komunikasi Sains – Komisi Ilmu Kedokteran Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) yang mengangkat tema “Hipospadia, Gangguan Diferensiasi Seksual : Kenali dan Tangani Sedini Mungkin”, yang berlangsung Senin (12/4/2021). Pembicara lainnya yang tampil dalam diskusi yang dipandu Ketua Komisi Kedokteran AIPI, Herawati Supolo Sudoyo, adalah ahli reporduksi dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Budi Wiweko; dan Psikolog Universitas Diponegoro, Annastasia Ediati.

Menurut Sultana yang menjadi Koordinator Tim Penyesuaian Kelamin RS Kariadi Semarang dan Fakultas Kedokteran Undip/RS Nasional Diponegoro, pada rentang tahun 2004 – 2020 ditemukan 1.069 kasus gangguan perkembangan seksual. Dari kasus yang terdeteksi, 37% di antaranya merupakan hipospadia, yakni kelainan bocor saluran jalan keluar air seni yang terjadi pada saluran kemih dan penis.

Yang menjadi masalah, sampai saat ini belum ada standar manajemen penanganan gangguan perkembangan seksual secara nasional, sehingga sering terjadi keterlambatan penanganan. Banyak penderita yang baru mencari bantuan untuk mengatasi kelainannya menjelang dewasa. “Kalau ditangani sejak dini maka tidak terjadi kebingungan dalam menentukan gender, pola asuh dan kualitas hidup penderita akan lebih baik,” tegasnya.

Mengenai penyebab hipospadia, penerima penghargaan Achmad Bakrie dari Freedom Institute sebagai peneliti terbaik bidang Kedokteran pada 2012 ini menyebutkan kelainan hormonal sebagai salah satu faktor. Namun bisa juga terjadi karena paparan lingkungan seperti pestisida dan obat nyamuk bakar. “Juga kelainan genetik.”

Penyebab hipospadia multifaktor dari gen maupun lingkungan; bisa juga karena lahir premature. Karena itu, perlu dilakukan pemeriksaan kromosom pada bayi untuk meghindari kesalahan penentuan jenis kelaminnya. Kasus pemain timnas voli Indonesia, Aprilia Manganang, yang didiagnosis mengalami hipospadia membuka pemahaman publik bahwa ada kemungkinan salah dalam penentuan jenis kelamin bayi. Karena hipospadia berat dan disertai tidak turunnya testis (buah zakar) kedalam kantong skrotum “Sering terjadi salah menentukan jenis kelamin bayi,”tegas dia.

Sultana yang tahun 2011-2015 menjabat Wakil Rektor Undip bidang pengembangan dan kerja sama ini mengakui lemahnya kesadaran dan pemahaman pemberi layanan kesehatan, fasilitas diagnostik yang minimal, adanya biaya pengobatan yang tidak ditanggung Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan, memberi andil lemahnya penanganan hipospadia. Keterbatasan tenaga ahli, dan terbatasnya obat-obatan juga menjadi faktor lain dalam penanganan hipospadia dan gangguan diferensiasi seks.

Psikolog Undip, Annastasia Ediati SPsi MSc PhD, mengungkapkan penentuan jenis kelamin (gender) sebenarnya tidak sederhana. Ada beberapa hal yang menjadi penentu identitas gender seseorang, mulai dari kromosom, gonad, hormon, organ reproduksi dan pikiran atau penghayatan identitas gender. “Identitas gender adalah penghayatan seseorang terhadap identitasnya sebagai laki-laki atau perempuan,” tutur psikolog medis lulusan Erasmus University Belanda ini.

Secara sederhana dipaparkan bahwa pembentukan gender dibentuk oleh lingkungan, serta diekspresikan sesuai norma yang berlaku. Pembentukan gender oleh lingkungan terdekat anak beupa pemberian nama, pemberian baju, mainan, aktivitas bermain dan lainnya. Sementara ekspresi norma terlihat dari penampilan diri, minat dan, dan perilakunya sesuai gender.

Annastasia mengingatkan ada banyak masalah psikologis yang dihadapi penderita gangguan perkembangan seksual, utamanya stigma sosial. Stigma bisa berasal dari lingkungan, namun bisa juga berasal dari diri sendiri. “Stigma menyebabkan terjadinya penolakan diri dan menghambat perkembangan psikologis untuk mencapai kualitas hidup yang optimal,” jelasnya.

Saat membuka diskusi, Ketua AIPI, Satrio S Brodjonegoro, menyampaikan bahwa gangguan perkembangan seksual kerap disalahpahami sebagai transgender, dan penderitanya banyak mengalami stigma. Ketidaktahuan masyarakat dan stigma sosial membuat gangguan perkembangan seksual terlambat ditangani. (tim humas)



Share this :