Semarang (06/10). Saat ini, perekonomian global bergerak sangat cepat dan dinamis. Dalam dua dasawarsa terakhir tercatat beberapa peristiwa penting yang mengubah landscape perekonomian dunia. Mulai dari krisis keuangan global pada tahun 2008, hadirnya revolusi industri generasi keempat (Fourth Industrial Revolution), perang dagang antara Amerika Serikat dengan China, hingga Pandemi Covid-19 yang belum berakhir.

Dalam konstelasi perubahan tatanan global yang kompleks tersebut kekuatan diplomasi memegang peran sentral. Merespon hal tersebut, Program Studi Magister Ilmu Ekonomi Undip menyelenggarakan Ambassadorial Lecture bertema “Diplomasi dan Pembangunan Ekonomi” dengan menghadirkan Duta Besar Republik Indonesia untuk Ethiopia, Djibouti dan Uni Afrika, H.E. Al Busyra Basnur.

Dalam sambutannya, Dekan Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) Undip, Prof. Dr. Suharnomo, M.Si. mengungkapkan bahwa gejolak perekonomian global adalah sebuah keniscayaan yang tidak bisa dihindari oleh setiap negara dengan sistem perekonomian terbuka.

“Perubahan landscape telah memberikan pengaruh yang fundamental pada pembangunan ekonomi setiap negara”, ungkap Dekan FEB Undip.

Selanjutnya, ia menambahkan perekonomian modern dan terbuka dicirikan oleh adanya saling ketergantungan antar-negara dalam aliran perdagangan barang, investasi/modal dan faktor produksi. Untuk itu, kemampuan diplomasi sangat dibutuhkan untuk menjaga sumber pertumbuhan ekonomi eksternal.

“Diplomasi ekonomi menjadi kunci sukses setiap negara dalam menghadapi tatanan ekonomi global yang syarat akan perubahan”, tambah Prof. Suharnomo.

Senada dengan Dekan FEB Undip, Duta Besar RI untuk Ethiopia, Djibouti dan Uni Afrika, H.E. Al Busyra Basnur dalam paparannya menggarisbawahi pentingnya diplomasi bagi negara dengan sistem perekonomian terbuka, baik diplomasi publik maupun diplomasi ekonomi.

“Diplomasi ekonomi saat ini menjadi muara dari semua diplomasi internasional yang dilakukan setiap negara”, tegasnya.

Bahkan salah satu mandat utama yang diberikan oleh Presiden saat dilantik sebagai diplomat adalah untuk membuka perdagangan dan membawa misi investasi ke Indonesia, tambah sosok yang kerapa disapa Pak Al ini.

Ia menjelaskan bahwa Indonesia sudah sangat aktif dalam menjalankan diplomasi ekonomi di seluruh dunia untuk menjaga sumber pertumbuhan eksternal, terutama perdagangan internasional.

Namun demikian, penetrasinya belum maksimal di semua wilayah. Indonesia masih sangat tergantung pada mitra dan tujuan dagang Indonesia yang terbatas, terkonsentrasi di Amerika Serikat, Cina, Jepang dan ASEAN.

“Negara-negara Afrika, Timur Tengah dan Amerika Selatan belum dimanfaatkan secara optimal”, ungkapnya.

Lebih jauh, Pak Al memberikan contoh keberhasilan Ethiopia dalam diplomasi internasional. Meski masih tergolong negara miskin, tetapi mencatatkan perkembangan tercepat di antara negara-negara Afrika lain. PDB per kapita pada tahun 2020 mencapai 936 USD, setelah sebelumnya selalu menjadi negara yang selalu identik dengan kelaparan, kekeringan dan krisis politik hingga tahun 1990-an.

Keberhasilan Ethiopia tidak terlepas dari keterbukaan negara tersebut untuk menerima masuknya investasi asing. Selain penyerapan tenaga kerja, investasi asing juga memberikan dampak spillovers yang luas pada perekonomian termasuk transfer teknologi. Ethiopia berkembang dengan cepat juga karena didukung oleh pembangunan infrastruktur yang masif.

Meskipun mulai muncul kekhawatiran dengan peran asing, namun sejauh ini telah memberikan kontribusi yang signifikan pada transformasi ekonomi domestik. Transformasi cepat itu juga didukung oleh peran diaspora yang memberikan dukungan penuh kepada pemerintah Ethiopia.

“Diaspora memberi jalan kepada penduduk Ethiopia yang potensial untuk belajar ke negara yang lebih maju” pungkas Pak Al.

Share this :